Sesungguhnya Kemiskinan Bukan untuk Dientaskan

“Sesungguhnya Kemiskinan Bukan untuk Dientaskan”, Esai Bahasa,
Majalah BSO Literat, edisi I Februari 2016

Sesungguhnya Kemiskinan Bukan untuk Dientaskan
oleh Iwan Ridwan*
            Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bangsa kita masih berkutat pada persoalan kemiskinan dan kesejahteraan. Tak pelak MEA ibarat panggung sandiwara yang menghadirkan sarang lebah di tengah pentas. Madu dalam sarang tersebut bisa saja menguntungkan. Bisa juga lebah yang ada di dalamnya tiba-tiba terusik kemudian menusuk para pemain dan meneror para penonton.
            Fenomena itu pun mengundang pertanyaan, bagaimana pemerintah “mengentaskan kemiskinan” saat ini? Pertanyaan tersebut cukup sering didengar dan dibaca. Konstruksi (mengentaskan) “kemiskinan” juga mengundang pertanyaan bagi para bahasawan dan mahasiswa yang bergiat di Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Ibarat seorang detektif, mari kita telusuri misteri di balik konstruksi “mengentaskan kemiskinan” yang eksotis itu. Persoalan (mengentaskan) acapkali disandingkan dengak kata yang keliru seperti keadaan miskin (kemiskinan) atau hal yang berbau penderitaan.  Mengentaskan dalam Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia (2008) berkumpul dengan komponen makna lain seperti  mengeramkan, menetaskan.
Namun, ketika kita membaca surat kabar ataupun karya ilmiah, masih saja menemukan kalimat “pemerintah seharusnya segera mengentaskan kemiskinan”. Sontak kalimat tersebut mengundang pertanyaan dan menimbulkan ketaksaan  (ambiguitas). Sebab, secara denotatif kalimat tersebut menegaskan bahwa “pemerintah (lembaga negara) diharapkan segera mengangkat kemiskinan”.
Secara konstruksi makna, susunan kalimat di atas menyimpan ironi di balik penyandingan kata “mengentaskan” dan “kemiskinan”. Lantas apa ironi di balik kalimat tersebut? Hal ini terjawab ketika kita membuka kitab suci kebahasaan yang kita pegang, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI edisi keempat (2008), mengentaskan diberi arti: 1 mengangkat (dari suatu tempat ke tempat lain), contohnya mengentaskan sayuran yang sedang direbus; 2 mengeluarkan dari lingkungan cairan; 3 ki menyadarkan; memperbaiki nasib: pemerintah berupaya mengentaskan mereka yang terjerumus ke lembah kenistaan.
Kata “mengentaskan” terbentuk dari proses afiksasi me(N)- kan dan kata dasar entas. Kata entas sendiri merupakan serapan dari bahasa Jawa yang bermakna mengangkat, yang biasanya digunakan untuk kegiatan mengangkat benda dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya, “Entaslah (angkatlah) sayur yang direbus itu ke sana”.  Ridwan (2015) memaknai imbuhan (prefiks) me(N)- kan sebagai morfem terikat yang bermakna suatu kegiatan (verba) yang bersifat resiprokal jika disandingkan dengan konstruksi verba (entas). 
Mencermati hal tersebut, padanan kata “mengentaskan” dalam konteks kalimat berita/ilmiah akan lebih harmonis jika dikaitkan dengan mengangkat suatu jenis nomina/pelaku aktivitas. Cobalah kalimat berikut: “Pemerintah mengentaskan masyarakat dari kemiskinan” atau “Masyarakat dientaskan pemerintah dari kemiskinan”.
            Kedua kalimat di atas merupakan kalimat aktif dan pasif yang sama-sama berusaha “mengangkat” objek (masyarakat) dari keadaan (kemiskinan) yang terjadi. Bandingkan dengan kalimat “mengentaskan” yang melulu dikaitkan dengan kemiskinan seperti 1) “Pemerintah akan mengentaskan kemiskinan  yang terjadi di Indonesia”, 2) “Kemiskinan akan dientaskan pemerintah”.
Kalimat 1) bermakna “pemerintah akan menaikkan kemiskinan yang terjadi di Indonesia”, sedangkan kalimat 2) merupakan sebuah kalimat pasif yang mengungkapkan bahwa “kemiskinan” akan “diangkat” pemerintah. Kedua kalimat tersebut menimbulkan pertanyaan, siapa dan apa yang akan dientaskan (diangkat) pemerintah? Apakah pemerintah akan fokus mengangkat kemiskinan? Atau mengangkat masyarakat dari kemiskinan? Hal ini jelas berpotensi memperkeruh persoalan ekonomi yang saat ini begitu mendesak. Lantas, apa yang terjadi pada kedua kalimat tersebut?
Tampaknya telah terjadi disharmoni makna. Sebab, terdapat ketidaktepatan penggunaan kosakata, khususnya kosakata entas yang bermakna “mengangkat” justru disandingkan dengan “kemiskinan” (keadaan miskin), sehingga menimbulkan kekacauan makna. Oleh karena itu, diharapkan para pegiat kebahasaan ataupun mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia Bahasa dan Sastra Indonesia lebih kritis lagi dalam mengendus fenomena-fenomena kebahasaan yang kian gemuk dan menanti tangan-tangan dingin linguis dan segenap instansi yang terlibat.
Persoalan kemiskinan sejatinya harus diselesaikan, bukan untuk diangkat (dientaskan) dan diperpanjang. Rakyat sudah amat rindu langkah yang cepat dan tepat guna menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi. Mulai dari sekarang marilah mengangkat masyarakat dari kemiskinan, bukan mengangkat kemiskinan di tengah masyarakat. Salah kaprah kata “mengentaskan” bisa disulap dengan pengharmonisan kembali susunan kalimat yang akan kita pakai, baik itu dalam karya ilmiah ataupun dalam surat kabar.

Pepatah “ucapanmu adalah doa”, membuat merinding tatkala ucapan yang dilontarkan mengarah pada suatu hal yang kurang baik. Begitu pun dengan kalimat “pemerintah akan mengentaskan (mengangkat) kemiskinan” harus mulai kita benahi dan ubah pasangannya.  Semoga doa yang kita harapkan bersugesti positif, bukan negatif.  Apapun persoalan yang menerjang, kemiskinan haruslah diselesaikan dan masyarakat harus dientaskan (diangkat) dari hal yang berbau kemiskinan. Karena sesungguhnya kemiskinan itu bukan untuk dientaskan. Waspadalah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi