Menata Nama Ilmu Pengetahuan
“Menata Nama Ilmu Pengetahuan”, Teroka
Bahasa, Koran Sindo, 9 Juni 2016
Menata Nama Ilmu Pengetahuan
oleh
Iwan Ridwan
Ditengah
polemik identitas dalam kasus LGBT beberapa waktu lalu, persoalan identitas
ilmu pengetahuan sebagai penanda bidang ilmu tak kalah serius. Sebab, ilmu
pengetahuan begitu sakral dalam kehidupan. Pusat Bahasa seharusnya resah akan
penyerapan istilah ilmu yang “berkelamin” ganda. Hal ini terlihat dalam istilah
“linguistik” dan “ekonomi”.
Sudah
jadi rahasia umum, ilmu tentang bahasa disebut “linguisti(k)” (bukan
linguistika), sedangkan ilmu mengenai asas-asas produksi (ekonomi) disebut
“ekonomi” (bukan ekonomika). KBBI (2008) juga menyebutkan demikian. Kedua ilmu
ini telah menjadi bagian dari bidang pelajaran di tingkat dasar hingga
Perguruan Tinggi. Namun, jika dikupas lebih dalam ternyata istilah “linguistik”
dan “ekonomi” masih kabur identitas.
Istilah
linguistik dan ekonomi yang berasal dari kata linguistics dan economics
(bahasa Inggris) berbenturan dengan linguistic dan economic
yang berkenaan dengan makna sifat. Padahal sebagai lembaga kodifikasi, Pusat
Bahasa membakukan istilah sufiks asing -ic, -ics (Inggris) dan –ique
(Perancis), -iek dan -ica (Belanda) menjadi -ik, -ika.
Kridalaksana
dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (2010) mengatakan, sufiks
–ik dan -is bermakna “bersangkutan dengan” (kata sifat), sedangkan sufiks –ika
bermakna “penanda bidang ilmu” (kata benda/nomina). Persoalannya mengapa
istilah linguistik dan ekonomi yang berasal dari kata linguist(ics) dan econom(ics)
tidak diperlakukan sama seperti matematika, fisika, pragmatika, stilistika (mathematics,
physics, pragmatics, stilistics) ?
Tampaknya
terjadi inkonsistensi dari penerapan kaidah yang ada. Akibatnya, muncul kegamangan dalam penyebutan
bidang ilmu. Sebagai contoh, di lingkungan kampus tertentu, ada yang menyebut
fakultas ekonomi sebagai fakultas ekonomika karena menganggap ekonomi berasal
dari istilah economics. Sedangkan ada kampus lainnya, memakai istilah
fakultas ekonomi dari istilah economics.
Kamus
Cambridge edisi ketiga (2008), misalnya, mengartikan istilah “economic” sebagai
kata sifat ‘ekonomis’, dan “economics” sebagai kata benda ‘ilmu ekonomi’. Ini
pun terjadi pada istilah linguistik dari bahasa Inggris (linguistic;
linguistics).
Khusus
untuk nama linguistik (-ika?), akan terjadi perdebatan yang sangat panjang dari
para linguis mengapa istilah ini dipakai sebagai bidang ilmu yang membahas
bahasa. Berlainan dengan “semantik” yang berasal dari tradisi Perancis
“semantique” (Sitaresmi dan Fasya, 2011). Secara akar kata, bahasa Inggris
mengambil gagasan langage-nya Perancis dalam menyebutkan “language” yang
sama-sama berakar dari bahasa latin: “lingua”. Sementara itu, istilah linguistics
juga terilhami linguistique-nya Perancis (Verhaar, 2010; Alwaasilah,
2011).
Ada
yang menyebutkan istilah linguistik termasuk warisan Belanda (linguistiek)
karena begitu banyak kosakata lain yang terserap di Indonesia seperti in de
kost ‘indekos’, kamer ‘kamar’, logement ‘losmen’,
frikandel ‘perkedel’, dsb.
Dalam
Kamus Linguistik, Kridalaksana (2011: 144) menyatakan bahwa istilah
“linguistik” adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah
(istilah ini pertama kali muncul tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang disunting
Johann Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch). Lantas, apakah tidak ada
dinamika istilah linguistik semenjak 208 tahun silam?
Kridalaksana (2011) dalam kamusnya, masih menyebutkan serapan
Inggris (linguistics) dari entri linguistik, bukan dari bahasa Belanda (linguistiek).
Padahal Kridalaksana menitipkan pesan bahwa dalam penyebutan nama bahasa
dalam bahasa Indonesia sedapat-dapatnya mempergunakan nama resmi atau nama asli
bahasa yang bersangkutan dan mengejanya secara Indonesia. Artinya, tidak
mengikuti tradisi bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Prancis, atau bahasa
Jerman. Hal ini juga senada dengan apa yang tercantum dalam Pedoman
Umum Pembentukan Istilah (2008) dan Permendikbud Nomor 50 tahun
2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan.
Ibarat
pakaian, tata nama ilmu pengetahuan menjadi penentu keselarasan
kehidupan bangsa. Kita bisa meninjau ulang apakah linguistik dan ekonomi
sebagai bidang ilmu berpotensi memiliki bentuk bersaing linguistika
dan ekonomika. Maka, segeralah memantapkan identitasnya karena ini sudah
menjadi ilmu pengetahuan yang dipelajari generasi bangsa sejak ia duduk di
bangku SD hingga perkuliahan.
Jangan
sampai terjadi kecemburuan istilah nama ilmu pengetahuan (linguistik dan
ekonomi) yang juga turut memajukan bangsa. Cermatilah kembali istilah di bidang
Sosial-Humaniora lainnya seperti pragmatika, stilistika, semiotika yang
sejajar dengan istilah bidang eksak semacam matematika, fisika. Kelima
istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris yang berkahiran –ics
(pragmatics, stilistics, semiotics, mathematics, physics).
Jika
kondisinya seperti di atas, maka sebaiknya istilah linguistik dan ekonomi
sebagai ilmu (linguistics, economics) diperlakukan sama seperti
penyerapan semiotika (semiotics) dan stilistika (stylistics) sebagai ilmu di
bidang Sosial dan Humaniora. Alhasil, linguistik dan ekonomi bisa dipadankan
menjadi “linguistika” dan “ekonomika”. Ini lebih aman karena tidak akan
bertumpang tindih dengan istilah nama ilmu itu sebagai sifat.
Keuntungan
lain yang didapat adalah ketika ilmu tersebut bekerja sama dengan ilmu lain
(kajian multidisipliner/interdisipliner). Istilah antropologi linguistik dan
linguistik antropologi, misalnya, tidak akan membingungkan lagi mana yang lebih
dominan dari kedua bidang ilmu tersebut. Jika memakai kaidah yang konsisten,
istilah anthropological linguistics-nya Foley (1997) diterjemahkan
menjadi linguistika antropologis seperti sociological linguistics yang
disebutkan Kridalaksana (2011) sebagai linguistik(a) sosiologis.
Terlebih jika berani, Pusat Bahasa bisa memasukan istilah ilmu yang populer di
kalangan akademisi seperti psikolinguistik, sosiolinguistik,
antropolinguistik sebagai kajian interdisipliner yang sifatnya saling
melengkapi satu sama lain ke dalam entri KBBI terbaru nanti.
Semoga fenomena ini disikapi dengan arif bijaksana karena tulisan ini tak bermaksud
mengadu domba suatu bidang ilmu. Tidak tertutup kemungkinan, akan terjadi
peristiwa yang sama ketika hasil penyelidikan Greenberg (Kridalaksana, 2011:
xxxii) atas nama “Hamito-Semitic” yang sempat popoler diganti menjadi
“Afro-Asiatika” melalui telaah linguistik historis komparatif. Pantaskah linguistik
dan ekonomi mengalami hal serupa, menjadi linguistika dan ekonomika? Padamu kami bertanya!
Komentar
Posting Komentar