Puisi Populer yang Populi
“Puisi Populer yang Populis”, Padang Ekspres,
7 Februari 2016
Puisi Populer yang Populis
oleh Iwan Ridwan
“Apakah
media menulis puisi sebegitu bebasnya? Ketika media massa cetak sudah lama
menjadi alat propaganda bagi produksi sosial teks, dunia maya (cyber) seperti
facebook misalnya, kini dianggap menjadi salah satu alternatif lain yang
praktis...”, begitulah penggalan pembuka kegelisahan Rio Rinaldi dalam esainya
berjudul Puisi Cyber, Terbuang Waktu Kecil, Besar Jadi Senator (Padeks,
8/11/2015).
Penulis
yang juga dosen ini turut menyuarakan aspirasinya atas puisi-puisi yang
tercipta di dunia maya, yang kemudian disebutnya “puisi cyber”. Intinya,
Rinaldi mempersoalkan kualitas puisi-puisi dunia maya (cyber) yang
dipublikasikan di facebook, twitter, blog, dsb. dan tanggung jawab para penulisnya.
Tampaknya,
pelabelan “puisi cyber” juga harus kita bedakan. Antara puisi di media sosial
yang tanpa seleksi dengan media digital yang masih melindungi “kualitas” puisi
dari kiriman para penulis. Sama halnya dengan media cetak, para redaktur karya sastra
media digital tengah berupaya menjaga kualitas karya sastra Indonesia yang
dihasilkan.
“Penyair
cyber” (dalam istilah Rinaldi) jangan sampai mencipta puisi untuk pelarian
semata, melepas “kegalauan”, atau sekadar numpang eksis belaka. Analogi Rinaldi
yang menyamakan penyair sebagai ibu sekaligus bidan (perawat) dari anak-anak
(puisi-puisi) yang dihasilkannya, mencerminkan betapa puisi dalam kasus media
sosial ini menjadi puisi populer yang populis.
Meminjam
isitlah Rinaldi, ibu (penyair) sekaligus bidan (perawat) malah meninggalkan
anak dan pasiennya (puisi). Puisi tercipta dengan sekejap mata. Habis dimakan
zaman. Hal ini berbeda dengan sastra adiluhung seperti Aku-nya Chairil ataupun
Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, yang tetap bertahan sepanjang zaman
dan karya-karyanya terus bersinar. “Aku”-Chairil ataupun “Tetralogi Buru”-Pram
dalam istilah Cassanova, merupakan contoh penulis yang merasakan bahwa suatu
hal yang tertulis akan abadi dan yang hanya terucap bakal lenyap (Verba
volant, scripta manent).
Akan
tetapi, kini pamor sastra populer juga tak kalah saing dengan sastra serius.
Hal ini terlihat dari nominasi karya sastra terbaik 2015 versi Jakarta beat
(www.jakartabeat.net). Penulis populer
semacam Pidi Baiq masuk nominasi dengan kesuksesan novel “Dilan”-nya.
Selanjutnya, Mahfud Ikhwan, salah seorang alumnus sastra, akhirnya menjadi yang
terbaik dari nominasi yang ada dengan buku “Kambing dan Hujan” (Bentang
Pustaka, 2015). Buku novel pop-islami ini turut mengantarkan Mahfud memenangi
sayembara novel DKJ 2014.
Puisi dan Popularitas
Di
lapangan puisi, terjadi respons luar biasa para netizen atas puisi-puisi
populer Zarry Hendrik dalam buku pertamanya, “Dear Zarry’s” (2015). Buku ini
meroket menjadi buku “best seller” nasional di tahun lalu. Lewat buku
pertamanya, popularitas Zarry kian tak terbendung hingga mengalahkan pamor
buku-buku yang berbingkai sastra serius sekalipun.
Kekinian,
demam puisi-puisi populer semacam puisi Zarry Hendrik telah menjangkit para
remaja Indonesia di dunia maya. Hal ini dibuktikan dengan “followers” Zarry di
twitter yang mencapai angka 90.000 lebih. Inilah zaman di mana puisi tidak
hanya dikuasai oleh para pujangga besar dalam perpuisian Indonesia seperti
Chairil, Rendra, Sapardi, hingga para penyair 2000-an dalam kategorisasi
Korrie.
Entahlah,
apakah kualitas puisi ditentukan oleh banjirnya kritik dari para kritikus
sastra atau dari indeks penjualannya. Indikator itu masih menjadi perdebatan
hingga saat ini. Sesungguhnya, kita masih samar melacak siapa para pembaca
sastra Indonesia dan bagaimana ukuran kualitas suatu karya. Apakah itu dari
banyaknya buku yang terjual atau dari penghargaan semacam anugerah dari Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) di tiap tahunnya. 25
Tetapi
nyatanya sekarang, puisi di benak sebagian besar remaja Indonesia adalah
puisi-puisi ala Zarry Hendrik yang bisa mereka temui di blog Zarry, twitter
ataupun “soundcloud”artis puisi idamannya itu.
Puisi
pun kian bernada curhat, yang dekat dengan kehidupan remaja. Tak pelak,
berpuisi menjadi budaya kekinian yang mulai dilirik oleh para remaja di
Indonesia. Begitupun para artis komedi di salah satu stasiun televisi, yang
coba-coba memasukkan unsur pembacaan puisi dalam lawakannya.
Sayang
beribu sayang, puisi justru dijadikan bahan candaan dan tertawaan. Berpotensi
mengundang remeh-temeh masyarakat Indonesia, tak terkecuali remaja. Alih-alih
mengejar popularitas, tindakan ini justru menodai perjuangan para penyair di
era Sutan Takdir Alisyahbana, Chairil, Rendra, ataupun Taufik Ismail.
Kembali
dengan kesukesan Zarry, buku kedua Zarry berjudul “Sekarangku” (Esa Media,
2015) juga beredar di pasaran. Entah mengapa, buku ini malah dikategorikan
novel oleh penerbitnya. Padahal isinya hanya berisi puisi-puisi dan prosa
liris. Jelas dalam konvensi sastra, komponen novel dengan “ke-kompleks-an”
ceritanya belum terpenuhi (Nurgiyantoro, 2013).
Fenomena ini mencerminkan bahwa peran
para penerbit sangat berpengaruh terhadap penentuan arah dan perkembangan kesusastraan
Indonesia. Jangan sampai karya-karya sastra diproduksi demikian masifnya,
tetapi “rambu-rambu” sastra yang ada kurang diperhatikan.
Inilah
yang menjadi pekerjaan rumah lembaga pendidikan dan kesenian pemerintah, serta
para pemerhati dan penggiat sastra hari ini untuk mengomunikasikan karya sastra
kepada masyarakat dengan baik.
Benar
apa kata Frans M. Parera (2004), dalam Visi dan Misi Seniman Indonesia
PascaRevolusi, bahwa sebuah karya sastra yang berkualitas tinggi adalah karya
sastra yang mampu menjalin hubungan timbal balik antara seniman (sastrawan)
dengan masyarakat pembacanya. Hal ini harus menjadi refleksi bagi kita semua
untuk lebih giat menjaga gairah penciptaan karya sastra yang berkualitas dan
mampu menciptakan iklim harmonis dengan pembacanya.
Ketika
sastra hanya dijadikan formalitas industri belaka, maka masyarakat semakin
enggan berkenalan, apalagi berhubungan intim dengan sastra. Begitupun puisi
populer sebagai rangakaian proses penciptaan sebuah karya, harus
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan; agar karyanya tetap relevan dan
bermanfaat bagi pembacanya. Semoga!
Komentar
Posting Komentar