Refleksi Pengorbanan yang Tak Mengorbankan
“Refleksi Pengorbanan yang Tak
Mengorbankan”, Opini Pikiran Rakyat Kampus, 22 September 2016
Refleksi
Pengorbanan yang Tak Mengorbankan
oleh
Iwan Ridwan
Beberapa pekan terakhir, Indonesia
diguncang badai persoalan yang menyangkut keamanan generasi mudanya.
Menariknya, anak di bawah umur menjadi korban yang diidam-idamkan. Menjadi
barang produksi yang diperjualbelikan seperti kasus “prositusi” online di
Kawasan Puncak, Bogor (Republika, 31/8). Anak menjadi komoditas bisnis
orang-orang yang tak bertanggung jawab. Mereka bukannya menyelamatkan masa
depan anak, justru menjerumuskannya ke dalam lubang hitam kehidupan.
Tentu ingatan kita masih segar
ketika anak menjadi mangsa keganasan pedofil yang bertindak asusila. Belum lagi
serangkaian kasus lainnya yang begitu mengancam masa depan anak. Padahal anak
merupakan calon generasi emas yang akan meneruskan perjuangan bangsa yang semakin
tua ini. Faktanya, mereka dieksploitasi secara berlebihan. Dijadikan objek
keganasan orang dewasa. Hingga timbul kasus penculikan, penyiksaan, pelecehan
seksual, hingga pembunuhan. Lantas, generasi muda seperti apa yang tercipta di
masa depan kelak? Jika sejak kecil telah mengalami tindak kekerasan dan
pelecehan.
Dalam hal ini, pemerintah lalai
dalam menjaga kemerdekaan segenap bangsa Indonesia. Padahal pemerintah
diamanatkan melindungi generasi muda dari jurang kesengsaraan. Hal ini jelas
tercantum dalam cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945
alinea keempat, …”membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Alih-alih mencapai bentuk
pemerintahan yang berdaulat, pemerintah justru amnesia dalam memaknai cita-cita
negara. Padahal para founding fathers telah
merumuskan visi strategis bangsa untuk menggapai kesuksesan di masa depan.
Amanat “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”
baru sampai pada tahap pengetahuan atau pemahaman. Hanya menjadi formalitas
belaka ketika mengikuti upacara bendera atau suatu peringatan tertentu. Amanat
tersebut belum mampu diaplikasikan secara baik dan menyeluruh.
Ancaman
Masa Depan
Wisnawa
(2012) mengatakan bahwa masa depan suatu bangsa ditentukan oleh generasi muda
bangsa tersebut. Semakin berkualitas generasi penerus suatu bangsa, maka masa
depan bangsa itu akan terjamin. Sebaliknya, semakin bobrok generasi muda suatu
bangsa maka harapan majunya suatu bangsa itu hanya impian belaka.
Ada
kekhawatiran tatkala kasus penindasan dan pelecehan terhadap anak terus
terjadi. Belum lagi, kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun kian mencekam.
Menurut studi UNICEF Hidden in Plain Sight, yang menggunakan data global
dari survei global berbasis sekolah Student Health Surveys, 40 persen
anak berusia antara 13-15 tahun melaporkan mengalami serangan fisik sedikitnya
satu kali dalam setahun (Baker, 2015). Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat telah
terjadi 3.700 kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya. Bahkan, selama
kurun waktu 2010-2014, angka kekerasan seksual terhadap anak mencapai 58 persen
dari 21.736.859 laporan kejahatan terhadap anak (Setyawan, 2015).
Berkaca dari fakta tersebut,
tersirat makna bahwa anak sebagai korban menjadi simbol kemerosotan mental
bangsa pancasila. Budaya “melindungi dan mengasuh” dalam balutan kasih sayang
perlu ditingkatkan kembali. Janganlah anak dijadikan “kurban” keganasan
sehingga masa depannya kian terancam.
Kurban dan Keselamatan
Mari kita berkaca pada makna kurban
yang tak mengorbankan dalam kisah pengorbanan nabi Ismail. Kala itu Allah
memerintahkan ayahnya (nabi Ibrahim) untuk menyembelihnya. Ingat bagaimana
keteguhan hati nabi Ismail tatkala ayahnya bercerita tentang tugas Allah Swt.
Ismail a.s. dengan semangat dan jiwa besar menerima permintaan ayahnya. Ia
tetap teguh, bahkan meyakinkan ayahnya untuk melakukan perintah Allah Swt.
dengan hati lapang. Lalu, orang tua mana yang tak berlinang air mata saat
anaknya rela berkorban untuknya. Tanpa pamrih. Tak memikirkan kepentingan
individu semata.
Kisah nabi Ismail menjadi contoh
tentang hakikat pengorbanan yang tak mengorbankan. Menghadapi ujian berat untuk
menghadirkan keselamatan bagi kemaslahatan bersama. Makna pengorbanan dalam
kisah nabi Ismail mengindikasikan suatu nilai-nilai kearifan.
Pertama, orang tua dan masyarakat
diharapkan tidak mengurusi kepentingan pribadi semata. Keduanya harus menjadi
figur bagaimana sistem norma dapat dijalankan dengan baik dan berdampak baik
pada perilaku anak di lingkungannya. Kedua, anak dan orang tua menjalin
kedekatan emosional sebagai penopang keberanian anak untuk berjalan di pangku
kebenaran. Hal ini terlihat ketika nabi Ismail menerima dengan ikhlas permintaan
ayahnya agar menjadi sembelihan atas perintah Allah Swt. Nabi Ismail tidak langsung menolak atau
mencaci maki perintah sang ayah. Beliau lebih menekankan pada keharmonisan hubungan
antara anak dan orang tua. Keikhlasannya terbayar karena Allah menggantikan
dirinya dengan hewan serupa kambing. Ketiga, adanya kepercayaan orang tua
terhadap sikap anak yang kokoh dan rela berkorban meski nyawa dipertaruhkan.
Hal ini dapat dimaknai sebagai upaya agar orang tua tidak terlalu mendikte
anak-anaknya, sehingga anak menjadi pribadi yang pemurung dan kering motivasi.
Anak “dibebaskan” dalam koridor pengawasan dan perlindungan yang menjamin
kelangsungan masa depannya.
Bertepatan dengan momentum hari raya
kurban, ketiga nilai tersebut setidaknya dapat diresapi oleh masyarakat
Indonesia, tak terkecuali pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Ketika suatu
bangsa memiliki generasi penerus yang berkualitas, maka masa depan bangsa akan
terjamin. Sebaliknya, jika generasi muda “merosot mentalnya” maka masa depan
bangsa akan kelam.
Mari kita ciptakan kembali generasi
muda sebagai aktor perubahan yang menjunjung persatuan dan kesatuan. Memberdayakan
potensi “kemudaan” kita. Ibarat kelapa muda, air kita begitu menyegarkan dahaga
dan mengisi kekosongan yang ada dalam kemerdekaan generasi muda saat ini. Daging
kita masih kuat untuk menyongsong masa depan yang cerah. Mendayagunakan segala
hal yang berada di sekitar dan menciptakan karya yang mengguncang dunia.
Percayalah!
Komentar
Posting Komentar