Seremonial Kemerdekaan yang Memerdekakan
“Seremonial Kemerdekaan yang
Memerdekakan”, Opini Pikiran Rakyat Kampus, 18 Agustus 2016
Seremonial Kemerdekaan
yang Memerdekakan
oleh Iwan Ridwan
Tak
dimungkiri, Indonesia telah berusia 71 tahun di masa kemerdekaannya. Seluruh
masyarakat se-Nusantara merayakan peristiwa bersejarah akan bebasnya negara ini
dari segala tindak penjajahan. Mulai dari seremonial di lapangan terbuka hingga
mengadakan perlombaan-perlombaan untuk mengingat perjuangan para pendiri
bangsa. Namun, kemerdekaan itu belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Hal
ini terlihat dari tragedi intoleransi seperti di Tanjung Balai beberapa pekan
lalu. Selain itu, masih saja terjadi fenomena saling sikut dari para pemangku
kepentingan yang haus kekuasaan. Artinya, bangsa ini belum mampu menjamin
kemerdekaan rakyat sepenuhnya.
Lantas,
apa yang bisa kita lakukan ditengah dilema perekonomian dan semangat kebangsaan
saat ini? Setelah kita merayakan
kemerdekaan, bekal apa yang telah kita dapat dari perayaan akbar tersebut?
Seremonial kemerdekaan seyogianya dimaknai agar bangsa ini mampu bangkit dari
keterpurukan. Menjadi bangsa yang mandiri dan sejahtera. Namun, saat ini bangsa
kita terlalu “santai” dikendalikan pihak lain sehingga kekayaan alam yang
melimpah belum mampu dimaksimalkan. Maka, harapan untuk Indonesia yang
bermartabat tersendat akibat kurang solidnya membangun peradaban yang mahardika
(berbudi luhur).
Kemandirian
dalam Kemerdekaan
Kita
harus bersama-sama “menghijrahkan” jiwa raga kita untuk mengembalikan lagi
Indonesia yang bermartabat seperti kemerdekaan yang diraihnya. Hijrah dapat
dimaknai sebagai perjalanan untuk menunaikan ibadah “membela tanah air”
(Jazuli, 2006). Oleh karena itu, mari kita refleksikan bagaimana upaya
“menghijrahkan” Indonesia dalam konsep Islam untuk membawa bangsa ini menuju
bangsa yang madani.
Sebagai
bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, masyarakat Indonesia harus
berorientasi pada kepentingan bersama. Hal itu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari hijrah sebagai ibadah kebangsaan. K.H. Mustofa Bisri (2008)
mengatakan bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang tidak hanya mementingkan
dirinya sendiri, tanpa melibatkan dan memedulikan saudara-saudaranya sesama
muslim.
Nah, bagaimana
dengan praktik kehidupan masyarakat Indonesia hari ini? Cerminannya ada dalam
kehidupan pemuda bangsa itu sendiri. Di tangan para pemudalah cita-cita
bangsa yang semakin tua ini akan diwujudkan. Kejayaan bangsa secara otomatis
akan terwujud dengan adanya dukungan dari para pemuda yang unggul. Begitu pula
sebaliknya, bangsa ini akan hancur apabila generasi mudanya rusak dan
tidak pernah memedulikan masa depan mereka (Arrivati, 2015).
Oleh karena itu, modal utama untuk
“menghijrahkan” Indonesia dalam arti non-fisik adalah generasi bangsa yang
cerdas dan kreatif. Memiliki kepekaan pikiran, daya saing tinggi, serta
kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam hal ini, para pemuda dapat
meniru semangat “menuntut ilmu” Imam Syafii yang terus konsisten “berhijrah”
dalam berguru untuk mencari ilmu kehidupan yang terbentang luas. Hal ini sangat
potensial untuk diwujudkan karena tak sedikit pemuda Indonesia yang ikut
memajukan peradaban dunia.
Untuk
menopang hal itu, pemuda mampu menerapkan karakter kebangsaan yang berlandaskan
pancasila berbasis konsep “hijrah” dalam aspek Islam. Setidaknya ada tiga
tahapan yang dapat dilakukan pemuda dalam “menghijrahkan” Indonesia ke gerbang
kemerdekaan yang hakiki.
Pertama,
pemuda harus meninggalkan “kemalasan” dari akal dan jiwanya. Kita harus mampu
mengendalikan (teknologi) gawai, bukan dikendalikan gawai. Memanfaatkan waktu
semaksimal mungkin untuk menuntut ilmu dan terus berkarya. Hal ini mampu
membangun fondasi karakter yang kuat untuk bermetamorfosis menjadi generasi
yang unggul.
Kedua,
pemuda mampu menjalankan fungsinya dalam masyarakat dengan mengajak sesama
pemuda untuk bahu-membahu membangun bangsa. Selain itu, pemuda dapat bekerja
sama dengan masyarakat untuk terus mempertahankan sumbu kreativitas, sehingga
virus itu akan menular dalam masyarakat. Maka, masyarakat dengan pemuda sebagai
agen utama mampu mewujudkan basis kreativitas yang tak terbatas. Hal ini akan
berkontribusi signifikan terhadap dilema ekonomi saat ini.
Ketiga,
pemuda dapat membentuk gerakan “penghijrahan” bangsa menuju keadaan yang lebih
baik dengan merangkul semua komponen masyarakat se-Nusantara. Pemuda menjadi
model pembentukan kolektivitas kebangsaan yang kuat atas asas “berbeda-beda
tetapi tetap satu” untuk Indonesia yang lebih baik. Secara bertahap, pemuda
dapat membawa bangsa ini menuju cita-cita yang diimpikannya, yang tercantum
dalam pancasila dan UUD 1945.
Ketiga
tahapan itu akan mampu “menghijrahkan” pemikiran bangsa ini untuk menciptakan
semangat kebangsaan seperti halnya perjuangan para founding fathers yang heroik kala itu. “Penghijrahan” ini pula
yang akan membuahkan skema perancangan serta pengurusan yang kuat. Sehingga,
ada akselerasi dari aspek pembangunan negara dan masyarakatnya (Ghianovan,
2014: 98).
Melalui
semangat yang tinggi dan tindakan yang nyata, pemuda mampu menghijrahkan sumber
daya manusia Indonesia menjadi manusia yang unggul dan berdaya saing tinggi.
Menciptakan iklim kebangsaan yang kritis dan berkarakter baja. Menjadi kesatria
layaknya para pemuda mukmin dalam kisah “Ashabul Kahfi”, yang tak gentar
menjunjung kebenaran.
Dengan
keyakinan yang kuat untuk berhijrah menuju hakikat terdalam lahirnya bangsa
ini, kita tinggal bertawakal kepada Allah Swt. Didampingi keimanan yang kuat
atas keyakinan bahwa janji Allah nyata adanya. Sehingga, bangsa ini akan terangkat dari keterpurukan
perekonomian dan menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat. Maka,
harapan untuk Indonesia yang mahardika akan terwujud asalkan semua
komponen bangsa secara sadar bergerak bersama. Menjunjung tinggi rasa persatuan
dan kesatuan. Semoga!
Komentar
Posting Komentar