Merawat Kebinekaan

“Merawat Kebinekaan”, Opini CTJ, Warta Kota, 10 Desember 2016

Merawat Kebinekaan
oleh Iwan Ridwan

Beberapa pekan terakhir, rumah kebinekaan kita terguncang. Peristiwa teror bom molotov di gereja Okuimene-Samarinda tidak hanya menelan korban generasi bangsa, tetapi juga rawan meruntuhkan fondasi persatuan dan kesatuan. Peristiwa itu kembali mengusik kerukunan umat beragama seperti halnya intoleransi yang terjadi di Tanjung Balai-Sumatra Utara ataupun Tolikara-Papua. Belum lagi, kebinekaan kita tengah diuji dalam aksi super damai bela Islam jilid III 2 Desember mendatang. Semoga kegaduhan malam hari pada aksi sebelumnya (4/11) tidak terulang.
            Setelah aksi damai 4 November lalu dengan panji 411 dan kini 212 itu harus mampu merawat kerukunan umat beragama. Sebab, kerukunan itu menjadi wujud kemajemukan dan kemajuan peradaban umat beragama dalam menghadapi permasalahan bersama umat manusia (Mahasthavira, 2001). Oleh karena itu, menarik kita renungkan semboyan kebinekaan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” pada masa kini.
Memaknai Kebinekaan
            Warisan semboyan itu takkan bergaung sampai saat ini jika seniman Majapahit, Mpu Tantular tidak membuat formuluasi penting tentang kemerdekaan agama dan toleransi sebagai  fondasi filosofis Kerajaan Besar Hindu Majapahit (1293-1520). Secara harfiah, frasa “Bhinneka Tunggal Ika” bermakna “sekalipun beraneka, tetapi satu”. Terjemahan modern dalam bahasa Indonesia adalah “persatuan dalam keberagaman” (unity in diversity), yang telah ditetapkan sebagai sasana dan moto nasional resmi Indonesia (Maarif, 2015).
            Sekalipun Mpu Tantular seorang penganut agama Budha, elite Majapahit sangat menghormatinya. Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan sejarah adalah sesuatu yang amat penting bagi pengembangan iklim kemerdekaan agama, harmoni sosial, dan toleransi di negeri ini. Terbentuknya bangsa-bangsa dan suku-suku dalam berbagai periode sejarah tidak untuk mencabik-cabik dan meruntuhkan kemanusiaan, tetapi untuk menguatkannya sehingga bumi ini tidak terus berdarah-darah semata-mata karena perbedaan yang melahirkan paham sempit dan sikap tak toleran (Maarif, 2013).
            Dalam konteks Indonesia, semua suku bangsa bersatu-padu dalam ikatan yang sama. Beragam perbedaan, baik suku, ras, maupun agama dijaga keharmonisannya dalam nilai-nilai kebinekaan yang telah diusung ketika bahasa, tanah air, dan negara kita ini dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda 1928 Oktober dengan buah nama Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat. 
            Konsep pluralitas yang diwadahi sumpah pemuda dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu) menjadi ajang untuk menggelorakan lagi semangat kebangsaan dalam bersaing di era global. Menjawab persoalan dari segala sektor kehidupan, Indonesia mampu merespons masalah yang menimpanya dengan pancasila sebagai kerangka berpikir dan memahami lebih dalam potensi kemajemukan bangsa.
            Jika kita telah peka dengan pluralnya bangsa, bukan tidak mungkin kita akan lebih peka dalam membaca peluang dari berbagai sektor kehidupan di era global. Artinya, butuh perjuangan dalam nuansa persatuan dan kesatuan untuk kembali membangun bangsa Indonesia yang cerdas dan bermartabat melalui kemajemukan yang dimilikinya.  Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita bangun kembali bangsa ini dengan jiwa pancasila sebagai landasan serta persatuan dan kesatuan. Kalau bukan sekarang-kapan lagi? Kalau bukan kita (bangsa Indonesia), siapa lagi!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi