Naskah dan Teks
Naskah
dan Teks
A. Pengertian Naskah dan Teks
Naskah dalam bahasa Inggris disebut manuscript dan dalam bahasa Belanda
disebut handschrift (Djamaris, 1977:20). Penulisan dalam katalogus kata manuscript
atau manuscrit biasanya disingkat menjadi MS untuk bentuk tunggal
dan MSS untuk bentuk jamak, sedangkan kata handschrift atau Handschrifen
biasanya disingkat menjadi HS (bentuk tunggal) dan HSS (bentuk jamak). Sedangkan teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu
yang abstrak.
Menurut Baried (1985:56)
teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang dapat
dibayangkan saja. Teks terdiri atas isi, yaitu ide-ide atau amanat yang
hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. kemudian bentuk, yaitu
cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan
melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.
B. Bahan Naskah
Ilmu yang khusus mempelajari naskah
disebut kodikologi. Kodikologi merupakan ilmu bagian dari filologi. Jika filologi
mengkaji naskah dan teks, maka kodikologi kajiannya lebih sempit, yaitu hanya
membahas naskah. Yang dimaksud dengan kodikologi adalah ilmu kodeks. Kodeks itu
sendiri merupakan bahan tulisan tangan, atau menurut The new Oxford
Dictionary (1982); manuscrift volume, eps. Of ancient texts gulungan
atau buku tulisan tangan, terutama dari teks-teks klasik. Kodikologi mempelajari
seluk beluk atau semua aspek naskah, anatara lain: bahan, umur, tempat
penulisan, dan perkiraan penulisan naskah.
Untuk menuangkan ide pada tulisan, nenek
moyang kita menggunakan bahan-bahan yang apabila kita gunakan saat ini tentu
akan kesulitan untuk melakukannya. Walaupun zaman dahulu sudah ada yang
menggunakan kertas, tetapi jumlahnya masih sedikit. Karena hanya negara-negara
tertentu yang sudah bisa menghasilkan kertas, sehingga untuk mendapatkan kertas
harus terlebih dahulu mengimpor dari negara lain.
Kertas merupakan salah satu kemajuan
peradaban umat manusia, semua sumber sejarah memastikan bahwa kertas merupakan
ciptaan seorang Cina bernama T’sai Lun, seorang menteri pada zaman
pemerintahan Kaisar Wu Di dari dinasti Han pada tahun 105 M, dia
menggunakan materi dasar yang lebih murah dalam pembuatan kertas, seperti
ampas buram, kapas, kulit tanaman, bekas jala yang usang, dan sebagainya.
Sehingga merupakan sebuah penemuan yang sangat berarti dalam sejarah.
Sebelumnya kertas dibuat dari percak
potongan sutra yang direndam lalu dijadikan sebagai adonan, lalu digiling dan
diratakan untuk dipakai sebahai tulisan. Disamping mahal, kertas sutra itu
tidak tahan lama. Kertas Cina penemuan T’sai Lun mulai diproduksi
di daerah Hunan sekitar 500 km utara Canton dan meluas penggunaannya di negeri
Cina, kemudian di Korean dan di Jepang pada abad ke-7, kemudian
menuju ke Amerika kecil, Persia, dan negara-negara Timur Tengah sesuai dengan
jalur perdagangan kafilah-kafilah.
Adapun pembuatan kertas di dunia
islam terjadi ketika pada abad ke 8 Masehi terjadi peperangan antara pasukan
Cina dan seorang Gubernur muslim bernama Ziad Bin Shaleh di Samarkand.
Akibatnya sejumlah orang Cina ditawan dalam peperangan yang dimenangkan oleh
pasukan muslim Samarkand. Diantara tawanan yang berjumlah 20.000 itu terdapat
orang-orang yang ahli dalam pembuatan kertas Cina, yang kemudian menjadi
komoditi penting untuk di ekspor ke negara-negara lain. termasuk Eropa. Kertas
yang paling tertua produksi Samarkand, yang dikenal dengan kertas Khurasan.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk menuliskan
naskah selain kertas pada masa lampau antara lain adalah, lontar,
kulit kayu dan rotan. Di Indonesia, bahan naskah untuk Jawa kuno sebagai
mana disebutkan oleh Zoetmulder (Kalangwang, 1974) adalah karas, semacam
papan atau batu tulis yang diduga oleh Robson hanya di pakai untuk sementara;
Naskah Jawa memakai lontar (ron tal ‘daun tal’ atau
daun siwalan), dan daluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit
kayu, bambu, dan rotan. Sedangkan naskah Sunda memakai lontar, saeh, daluang,
dan kertas, kemudian kertas Eropa yang didatangkan dari Eropa
menggantikan dluang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah
Indonesia.
Tempat Penyimpanan Naskah
Tempat penyimpanan naskah Nusantara tersebar disebagian daerah di Indonesia, ada juga yang tersimpan di Mancanegara. Naskah biasanya disimpan diberbagai katalog di perpusatakaan dan museum yang terdapat diberbagai negara. Kecuali di Indonesia, naskah-naskah teks nusantara pada saat ini sebagian tersimpan di museum-museum di 26 negara, yaitu di Malaysia, Singapura, Brunei, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman Timur, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swis, Denmark, Norwegia, Polandia, Cekoslovakia, Spanyol, Italia, Perancis, dan Belgia. Sebagian naskah lainnya masih tersimpan dalam koleksi perseorangan, misalnya naskah Melayu, Aceh, Jawa, dan Sunda.
Tempat Penyimpanan Naskah
Tempat penyimpanan naskah Nusantara tersebar disebagian daerah di Indonesia, ada juga yang tersimpan di Mancanegara. Naskah biasanya disimpan diberbagai katalog di perpusatakaan dan museum yang terdapat diberbagai negara. Kecuali di Indonesia, naskah-naskah teks nusantara pada saat ini sebagian tersimpan di museum-museum di 26 negara, yaitu di Malaysia, Singapura, Brunei, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman Timur, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swis, Denmark, Norwegia, Polandia, Cekoslovakia, Spanyol, Italia, Perancis, dan Belgia. Sebagian naskah lainnya masih tersimpan dalam koleksi perseorangan, misalnya naskah Melayu, Aceh, Jawa, dan Sunda.
C. Terjadinya Teks
Ilmu yang mempelajari seluk-beluk teks disebut
tekstologi, yang antara lain meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah
karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Berkaitan dengan masalah teks,
jarang ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk sempurnanya sekaligus jelas dan
tersedia. Menurut de Haan (dalam Baried, 1985: 57-58), mengenai terjadinya teks
ada beberapa kemungkinan:
1. Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita. Turun
temurun secara terpisah, yang satu dari lain melalui dikte, apabila orang ingin
memiliki teks itu sendiri. Tiap kali teks diturunkan dapat terjadi variasi.
Perbedaan teks adalah bukti bukti pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita
sepanjang hidup pengarang;
2. Aslinya teks tertulis, yang lebih kurang merupakan kerangka yang masih
memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini, ada kemungkinan
bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain
ialah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau dicuri, terjadilah cabang
tradisi kedua atau ketiga, disamping yang telah ada karena varian-varian
membawa cerita dimasukan;
3. Aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya,
karena pengarang telah menentukan pilihan kata, urutan-urutan kata, dan
komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literature itu.
D. Jenis Teks
Sebagaimana
tekstologi yang mempelajari seluk-beluk teks, maka sebagai pegangan yang
berguna sekali adalah sepuluh prinsip Lichacev untuk penelitian tekstologi
karya-karya monumental sastra lama Rusia. Dalam ruang lingkup terbatas
penulisan pengantar tekstologi ini, sekedar sebagai pedoman menyeluruh. Prinsip-prinsip
tersebut hanyalah disebutkan saja (dari terjemahan) tanpa keterangan lebih
lanjut sebagai berikut.
1. Tekstologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu karya. Salah satu di antara
penerapannya yang praktis adalah edisi ilmiah teks yang bersangkutan.
2. Penelitian teks harus
didahulukan dari penyuntingannya.
3. Edisi teks harus menggambarkan
sejarahnya.
4. Tidak ada kenyataan tekstologi
tanpa penjelasannya.
5. Secara metodis perubahan yang
diadakan secara sadar dalam sebuah teks (perubahan ideologi, artistik, psikologis,
dan lain-lain) harus didahulukan daripada perubahan mekanis. misalnya
kekeliruan tidak sadar oleh seorang penyalin.
6. Teks harus diteliti sebagai
keseluruhan (prinsip kekompleksan pada penelitian teks).
7. Bahan-bahan yang mengiringi
sebuah teks (dalam naskah antara lain kolofon) harus diikutsertakan dalam
penelitian.
8. Perlu diteliti pemantulan sejarah
teks sebuah karya dalam teks-teks dan monumen sastra lain.
9. Pekerjaan seorang penyalin dan
kegiatan skriptoria. (sanggar penulisan/penyalinan : biara, madrasah) tertentu
harus diteliti secara menyeluruh.
10. Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan
teks yang diturunkan dalam naskah-naskah secara faktual.
Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks: (1). Teks lisan (tidak tertulis); (2). Teks naskah tulisan tangan; (3). Teks cetakan. Kalau kita lihat berdasarkan masa perkembangannya, teks yang pertama ada adalah teks lisan, teks lisan lahir dari cerita-cerita rakyat yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui tradisi mendongeng. Teks lisan berkembang menjadi teks naskah tulisan tangan yang merupakan kelanjutan dari tradisi mendongeng, cerita-cerita rakyat yang pernah dituturkan disalin ke dalam sebuah tulisan dengan menggunakan alat dan bahan yang sangat sederhana dan serta menggunakan aksara dan bahasa daerahnya masing-masing. Teks naskah tulisan tangan ini masih tradisional, setelah ditemukannya mesin cetak dan kertas oleh bangsa Cina maka perkembangan teks pun menjadi lebih maju, pada masa ini orang tidak harus susah-susah menyalin sebuah teks, tetapi teks-teks sangat mudah diperbanyak dengan waktu yang tidak lama maka lahirlah teks-teks cetakan. Antara teks tulisan dan lisan tidak ada perbedaan yang tegas.
Dalam sastra Melayu, hikayat dan syair dibacakan keras-keras kepada pendengar. Hal ini berarti bahwa hikayat dan syair yang sudah dibukukan dari cerita-cerita lisan dan disesuaikan dengan sastra tulis tidak dibaca seorang diri, tetapi dibaca bersama-sama. Kebiasaan ini berhubungan erat dengan ciri umum sastra Indonesia, yang terutama diturunkan secara lisan dan merupakan milik bersama. Ciri kolektif ini berlaku pula bagi teks dalam naskah-naskah yang sudah ratusan tahun tuanya. Di Bali, dalang memanfaatkan naskah klasik kakawin. Demikian pula babad-babad mempunyai fungsi sosial karena dibacakan pada kesempatan tertentu. Sampai sekarang pun masih berlangsung tradisi mabasan atau makakawin, yaitu membacakan kakawin dalam bahasa Jawa Kuna dari lontar yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Bali. Di Lombok teks tembang dibacakan untuk upacara "rites de passage", misalnya supitan.
Di Jawa, tembang macapat karya pujangga-pujangga besar seperti Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Pakubuwana IV, dan bermacam-macam babad lazim didengarkan bersama-sama pada peristiwa-peristiwa adat yang penting. Di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, cerita kentrung dengan tradisi tulis dan lisan disampaikan kepada sejumlah pendengar pada peralatan khitanan, perkawinan ruwatan dan lain-lain. Dengan demikian, terjalin interaksi terus-menerus antara teks tulis dan lisan.
Sumber:
Baried, Siti baroroh. dkk. (1985). Pengantar Teori Filologi. Jakarta
Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.
Lubis, N. (1996). Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum kajian bahasa dan sastra Arab.
Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks: (1). Teks lisan (tidak tertulis); (2). Teks naskah tulisan tangan; (3). Teks cetakan. Kalau kita lihat berdasarkan masa perkembangannya, teks yang pertama ada adalah teks lisan, teks lisan lahir dari cerita-cerita rakyat yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui tradisi mendongeng. Teks lisan berkembang menjadi teks naskah tulisan tangan yang merupakan kelanjutan dari tradisi mendongeng, cerita-cerita rakyat yang pernah dituturkan disalin ke dalam sebuah tulisan dengan menggunakan alat dan bahan yang sangat sederhana dan serta menggunakan aksara dan bahasa daerahnya masing-masing. Teks naskah tulisan tangan ini masih tradisional, setelah ditemukannya mesin cetak dan kertas oleh bangsa Cina maka perkembangan teks pun menjadi lebih maju, pada masa ini orang tidak harus susah-susah menyalin sebuah teks, tetapi teks-teks sangat mudah diperbanyak dengan waktu yang tidak lama maka lahirlah teks-teks cetakan. Antara teks tulisan dan lisan tidak ada perbedaan yang tegas.
Dalam sastra Melayu, hikayat dan syair dibacakan keras-keras kepada pendengar. Hal ini berarti bahwa hikayat dan syair yang sudah dibukukan dari cerita-cerita lisan dan disesuaikan dengan sastra tulis tidak dibaca seorang diri, tetapi dibaca bersama-sama. Kebiasaan ini berhubungan erat dengan ciri umum sastra Indonesia, yang terutama diturunkan secara lisan dan merupakan milik bersama. Ciri kolektif ini berlaku pula bagi teks dalam naskah-naskah yang sudah ratusan tahun tuanya. Di Bali, dalang memanfaatkan naskah klasik kakawin. Demikian pula babad-babad mempunyai fungsi sosial karena dibacakan pada kesempatan tertentu. Sampai sekarang pun masih berlangsung tradisi mabasan atau makakawin, yaitu membacakan kakawin dalam bahasa Jawa Kuna dari lontar yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Bali. Di Lombok teks tembang dibacakan untuk upacara "rites de passage", misalnya supitan.
Di Jawa, tembang macapat karya pujangga-pujangga besar seperti Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Pakubuwana IV, dan bermacam-macam babad lazim didengarkan bersama-sama pada peristiwa-peristiwa adat yang penting. Di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, cerita kentrung dengan tradisi tulis dan lisan disampaikan kepada sejumlah pendengar pada peralatan khitanan, perkawinan ruwatan dan lain-lain. Dengan demikian, terjalin interaksi terus-menerus antara teks tulis dan lisan.
Sumber:
Baried, Siti baroroh. dkk. (1985). Pengantar Teori Filologi. Jakarta
Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.
Lubis, N. (1996). Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum kajian bahasa dan sastra Arab.
Komentar
Posting Komentar