makalah Pendidikan Kewarganegaraan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terjadi di
negara-negara berkembang merupakan salah satu pemicu terjadinya migrasi. Perpindahan
tenaga kerja dari negara-negara berkembang ke luar negeri pada dasarnya
disebabkan oleh adanya perbedaan ekonomi antar negara. Randahnya tingkat upah
serta sulitnya memperoleh pekerjaan di negara berkembang cenderung mendorong
migrasi Internasional. Hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya laju
perekonomian dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan.
Pekerjaan sebagai
seorang buruh migran, khususnya menjadi seorang TKI di luar negeri memang cukup menjanjikan. Seorang TKI lebih mementingkan
upah yang didapatnya daripada resiko yang diterima ketika statusnya tidak
sesuai prosedur yang ada. Hal tersebut membuat munculnya berbagai kasus
penyiksaan yang menimpa para TKI yang bekerja di luar negeri. Beberapa diantara
kasus tersebut, seperti kasus pelecehan seksual, penganiayaan,
serta majikan
bermasalah dan meninggal yang berujung
pada hukuman mati yang diterima para TKI dengan alasan yang berbeda-beda.
Segala permasalahan
di atas disebabkan karena kurangnya pemahaman TKI tentang hak dan
perlindungan yang didapatkannya, serta kurangnya pengawasan dari pemerintah
dalam proses penempatan dan perlindungan TKI itu sendiri. Penempatan dan
perlindungan TKI saat ini terus menjadi sorotan. TKI sering dijadikan obyek
perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan,
kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta
perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Dalam
permasalahan TKI, kasus yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah
kasus Satinah. Satinah terancam hukuman pancung atas tuduhan pembunuhan majikan
dan pencurian. Dalam
kasus Satinah ini mengisyaratkan bahwa masih lemahnya sistem hukum di negeri
ini atas perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri, khsusunya hukum yang
mengikat dengan pemerintahan Arab Saudi.
Segala
permasalahan yang terjadi pada TKI dapat diselesaikan dengan perencanaan yang
matang. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan dan
pendidikan kepada calon TKI untuk menunjang keamanan atas dirinya serta dengan memperbaiki mekanisme pengawasan
dalam penempatan TKI di luar negeri. Dengan demikian, kualitas perlindungan negara terhadap TKI di luar negeri akan
meningkat
juga hasil dari perbaikan sistem
yang dilakukan akan meminimalisir kasus-kasus
pelanggaran HAM terhadap TKI di luar negeri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)?
2.
Bagaimana
kondisi TKI di luar negeri?
3.
Faktor apa saja yang menyebabkan tindak kekerasan terhadap TKI?
4.
Bagaimana
solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus hukuman pancung yang dialami
TKI?
C.
Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan hal
sebagai berikut.
1. Untuk memberikan
pengetahuan tentang apa itu TKI.
2. Untuk memberikan informasi kepada
pembaca tentang keadaan TKI di luar negeri saat ini.
3.
Untuk
memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya pemahaman prosedur TKI agar tidak terjadi
kasus penyiksaan.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus hukuman
pancung yang dialami TKI.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kajian
Teori
TKI adalah setiap warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk
jangka waktu tertentu dengan menerima upah (Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri).
Sebelum calon TKI bekerja di luar
negeri, ada beberapa proses yang dilewati. Perekrutan calon TKI oleh pelaksana
penempatan TKI dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:
a. berusia
sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun,
kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya
berusia 21 (dua puluh satu)
tahun;
b. sehat
jasmani dan rohani;
c. tidak
dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
d. berpendidikan
sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang
sederajat.
Setelah melewati tahap di atas, seorang TKI akan
dihadapkan pada suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja menurut UU No. 39
Tahun 2004 adalah “Perjanjian tertulis antara Tenaga Kerja Indonesia dengan pengguna
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban ,masing-masing pihak”.
Dengan demikian suatu perjanjian kerja sudah memuat antara hak dan kewajiban
masing-masing pihak, dan apabila dalam praktiknya terdapat
penyimpangan-penyimpangan, maka pihak yang menyimpang tersebut dikenakan sanksi
hukum.
Seorang TKI dilindungi oleh sebuah lembaga yakni BNP2TKI.
BNP2TKI adalah sebuah lembaga pemerintah Non
Departemen di Indonesia yang mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang
penempatan dan perlindungan Tenga Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi
dan terintegrasi. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81
Tahun 2006. Tugas pokok BNP2TKI adalah:
(1). Melakukan penempatan atas dasar
perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan
hukum di negara tujuan penempatan;
(2). Memberikan pelayanan, mengkoordinasikan,
dan melakukan pengawasan mengenai: dokumen; pembekalan akhir pemberangkatan
(PAP).
Untuk meminimalisasi dampak negatif dari pelayanan
penempatan dan perlindungan TKI, campur tangan Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah secara integral sangat dibutuhkan, guna mencegah TKI menerima
pekerjaan-pekerjaan yang non-remuneratif, eksploitatif, penyalahgunaan,
penyelewengan serta menimalisir biaya sosial yang ditimbulkanya. Sehingga
dapat menimbulkan perasaan aman dalam diri TKI yang bekerja di luar negeri.
B.
Pembahasan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), seorang tenaga kerja
yang berasal dari Indonesia sangat membutuhkan jaminan hukum atas dirinya ketika
bekerja di luar negeri.
Dalam hal ini, upaya perlindungan HAM terhadap TKI merupakan sesuatu yang
dianggap penting mengingat banyaknya terjadi kasus-kasus pelanggaran yang
menimpa TKI di luar negerti seperti kasus yang menimpa Satinah, Sumiyati,
Darsem, dan kasus lainnya.
Pelanggaran yang terjadi kepada
para TKI umumnya dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan majikannya tentang
hak dan kewajiban TKI yang bekerja di luar negeri disamping pengetahuan
terhadap hak yang dimiliki oleh TKI itu sendiri. Mengacu pada hal di atas, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus-kasus penyiksaan yang
diterima TKI di luar negeri. Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut: (1).
Kemampuan berbahasa yang tak
memadai; 2. Kemampuan
membaca dan memahami budaya; (3). Kemampuan intelektualitas; (4).
Lemahnya hukum yang diberikan pemerintah kepada warga negaranya yang bekerja sebagai
TKI di luar negeri.
Dalam permasalahan ini yang akan dibahas
adalah kasus Satinah. Satinah salah seorang TKI asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi,
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang mengadu nasib di Arab Saudi yang tengah
memperjuangkan nasibnya dalam hukuman pancung yang menerpanya. Ia didakwa atas
tuduhan membunuh majikannya serta mencuri uang sebesar 37.970 riyal atau
sekitar Rp 100 juta. Satinah adalah
TKI legal lewat PT. Djasmin Harapan Abadi. Dia
ditempatkan di Provinsi Al Qassim untuk bekerja di keluarga Nura Al Gharib.
Kasus bermula pada pada tahun 2007, ketika Satinah tengah memasak di dapur tiba-tiba
saja majikannya membenturkan kepala Satinah ke tembok tanpa sebab karena dari
pengakuan Satinah bahwa dirinya kerap kali disiksa oleh majikannya
tersebut. Mencoba membela diri, Satinah pun memukul
tungkuk majikannya dengan alat adonan roti. Akhirnya majikannya pun pingsan dan
sempat mengalami koma di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal. Satinah sempat
menyerahkan dirinya ke polisi dan mengakui perbuatannya, di sana ia diberikan
kesempatan untuk menghubungi keluarganya atas kasusnya tersebut namun tidak ada
kejelasan perlindungan atas dirinya, sejak itulah dia di penjara.
Dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009
sampai kasasi 2010, satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan
pembunuhan berencana pada majikan perempuannya, Nura Al Gharib. Awalnya Satinah direncanakan
dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari Kementrian Luar
Negeri, waktu eksekusi Satinah telah ditunda selama lima kali, yakni pada Juli
2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014. Terakhir
tenggat waktu eksekusi ditentukan tgl 3 April 2014.
Selama dua tahun menjalani
proses persidangan Satinah tidak didampingi oleh pengacara, penerjemah maupun
konselor serta pemerintah baru mengetahui kasus ini pada tahun 2009. Hal
tersebut mengakibatkan berkas perkara Satinah dianggap tidak memenuhi
prinsip-prinsip fairness (berkeadilan) sesuai hukum Internasional.
Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan negoisasi dengan keluarga majikan
Satinah agar Satinah bisa terbebas dari hukuman mati.
Seiring proses negoisasi,
akhirnya keluarga korban memberikan maaf, dan
meminta diyat sebesar 500 ribu riyal atau sekitar Rp. 1,25 miliar. Diyat adalah denda yang harus dibayar oleh seorang
pelaku atas tindakannya terhadap korban. Namun, entah karena faktor apa
sehingga diyat tersebut naik menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp. 21 miliar.
Para pengamat politik memaparkan bahwa telah terjadinya indikasi mafia diyat
atas kasus hukuman mati yang menimpa TKI khususnya Satinah. Pemerintah
seharusnya tidak wajib membayarkan diyat untuk Satinah karena hal tersebut
telah ada dalam kontrak perjanjian antara pelaku dan korbannya. Dalam hal ini,
posisi pemerintah harusnya sebagai pendamping dan menjadi alat pengawasan
terhadap berlangsungnya proses hukum yang berlaku.
Meskipun demikian, fakta
menyatakan sebaliknya. Artinya, kasus yang menimpa Satinah ini bukan kasus yang
terjadi pertama kali, seperti hal serupa yang dialami Siti Zaenab di tahun
1999, sampai pada kasus pembayaran diyat kontroversi Darsem oleh pemerintah. Sejak 2004, pemerintah telah memberlakukan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 7 (e). UU tersebut menegaskan, pemerintah
berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum
pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan.
Dalam menempatkan TKI di luar negeri, Pasal 27 Ayat (1) dan (2) juga
menegaskan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara
tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah
RI atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang
melindungi tenaga kerja asing. Meski undang-undang dengan tegas melarang penempatan TKI ke
negara yang tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI atau yang
aturannya tidak melindungi pekerja asing, Pemerintah Indonesia membiarkan dan
bahkan memfasilitasi jutaan warga dikirim ke Arab Saudi yang jelas-jelas tidak
memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI.
Selain
itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Arab Saudi jelas-jelas
melegalkan perbudakan. Pihak yang pertama kali wajib
dituntut pertanggungjawaban atas hukuman mati yang menimpa Satinah dan TKI
lainnya di Arab Saudi adalah Pemerintah Indonesia karena pemerintah telah
melanggar ketentuan undang-undang perlindungan TKI. Manifestasi dari
pelanggaran ini adalah para perempuan seperti Satinah dikirim ke Arab Saudi.
Dalam sistem perbudakan yang
dijalankan Arab Saudi, mayoritas TKI yang bekerja di sektor domestik sangat rentan
mengalami eksploitasi dan kekerasan oleh majikan dan pihak lain di negara
tujuan tanpa memiliki akses atas keadilan. TKI yang menjadi korban pembunuhan
atau membunuh karena membela diri akan bernasib sama. Pemerintahan yang
mengirimkan rakyatnya ke negara seperti ini adalah pemerintahan yang kurang bertanggung jawab atas keselamatan
rakyatnya sendiri. Setelah rakyatnya dijatuhi hukuman mati sebagai
konsekuensi dari pelanggaran pemerintah terhadap hukum perlindungan TKI,
pemerintah masih juga mempertanyakan apakah negara harus membayar diyat.
Ratusan kasus hukuman mati dan
beragam kekerasan yang menimpa TKI tidak akan terjadi seandainya pemerintah
menjalankan ketentuan undang-undang, yaitu melarang dan menindak tegas
penempatan TKI ke Arab Saudi dan negara-negara lain yang jelas-jelas tidak
memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI dan yang melegalkan
perbudakan.
Kewajiban
pemerintah untuk membayar diyat bagi pembebasan Satinah semakin jelas jika mengikuti fakta penanganan
kasus Satinah yang diangkat Migrant Care dan keadilan bagi TKI. Ada indikasi
pemerintah kurang serius dalam menangani kasus Satinah. Sebenarnya
apabila merujuk pada permenaker No: PER-23/MEN/V/2006
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, di sana terdapat hak-hak TKI jika memiliki
permasalahan ketika pra penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan. Asuransi
TKI adalah suatu bentuk perlindungan bagi TKI dalam bentuk santunan berupa uang
sebagai akibat resiko yang dialami TKI sebelum, selama dan sesudah bekerja di
luar negeri.
Meskipun pada akhirnya pemerintah ikut menyumbang dalam pembayaran diat
Satinah, namun hal tersebut dianggap kurang menunjukkan langkah tepat dan
cepat. Presiden
mengabaikan keadilan bagi TKI. Jutaan TKI mempertaruhkan nyawa untuk
mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Pertaruhan nyawa ini menghasilkan devisa
bagi Negara. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) jumlahnya mencapai Rp 88,6 triliun (tahun 2013). Jumlah ini meningkat
dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 67,87 triliun.
Apabila dikalkulasikan dengan uang tunai yang dibawa TKI sendiri atau
dititipkan kepada sesama teman atau yang dikirimkan lewat jasa lain di luar
perbankan, devisa yang dihasilkan TKI mencapai Rp 120 triliun per tahun. Selain devisa, TKI juga
berkontribusi dalam pengurangan pengangguran, kemiskinan, dan bergeraknya
perekonomian daerah. Apalah artinya Rp 21 miliar untuk diyat bagi Satinah
dibandingkan dengan triliunan devisa yang dihasilkan para TKI dan berbagai
manfaat yang diambil negara dari TKI.
Bukan
hanya dalam kasus Satinah, ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam mewujudkan
perlindungan bagi TKI terlihat dari beberapa indikasi. Salah satunya adalah
pengurangan anggaran perlindungan TKI. Ketika devisa yang dihasilkan TKI
meningkat, anggaran yang dialokasikan untuk perlindungan bagi TKI justru
merosot. Padahal, masih ada ratusan TKI yang terancam hukuman mati
yang membutuhkan anggaran untuk pembelaan.
Hukuman
mati yang dihadapi Satinah bukanlah tindak pidana personal
belaka. Ada pengabaian tanggung jawab negara di dalamnya. Bukan hanya tanggung
jawab dalam menjalankan amanat undang-undang, melainkan juga tanggung jawab
untuk merevisi undang-undang dan mewujudkan perubahan. Selain itu,
kurangnya ketersidaan lapangan pekerjaan di Indonesia menjadi faktor utama
penyebab warga negara Indonesia memilih bekerja di luar negeri untuk menjual
tenaganya atau sering dikategorikan buruh migran khususnya Tenaga Kerja
Indonesia.
Dalam hal perspektif pembangunan, menurut teori Fei-Ranis (1961) menyebutkan
bahwa negara berkembang seperti Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian besar
penduduknya bergerak di sektor pertanian, banyak pengangguran, dan tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Indonesia membutuhkan peningkatan
kualitas khususnya sumber daya manusia yang dimilikinya. Berkaitan dengan
permasalahan TKI, langkah yang diperlukan adalah dengan melakukan pembenahan
sistem dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI khususnya pola
penyalurannya ke negara tujuan, yang sudah seharusnya ditujukan ke negara yang
telah memiliki perjanjian tertulis agar meminimalisir kasus-kasus yang terjadi
ke depannya.
Selain itu, tingkatkan pengawasan kepada setiap calon TKI agar tidak
terjadi TKI ilegal serta meningkatkan pelatihan dan pendidikan secara bertahap
untuk seorang buruh migran yang bekerja di luar negeri agar tidak hanya
formalitas belaka. Dengan demikian, akan terciptanya suatu sinergi antara
pemerintah dan rakyatnya khususnya bagi seorang TKI yang menjadi penghasil
devisa terbesar kedua di Indonesia, yang memang sudah seharusnya hak-haknya
dilindungi oleh negara khususnya perlindungannya menjadi seorang buruh migran.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Permasalahan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) di luar negeri khususnya di Arab Saudi merupakan tanggung jawab bersama,
baik dari pemerintah dengan pembenahan sistem dan mekanismenya maupun warga
negara Indonesia terutama yang memilih jalur untuk menjadi seorang buruh migran
ke luar negeri.
Satinah hanyalah sepotong contoh kasus
permasalahan yang menimpa TKI di luar
negeri terlebih pada kasus penyiksaan yang melibatkan dua negara yang belum
memiliki perjanjian tertulis secara tegas serta negara yang menjadi objek kerja
TKI melegalkan perihal perbudakan. Sebenarnya moratorium telah dilakukan antara
kedua negara namun penjajakan moratorium tersebut belum dilaksanakan secara
optimal. Selanjutnya, guna mencegah meningkatnya kasus-kasus serupa maka
diperlukan suatu pembenahan secara konkret dari pemerintah selaku lembaga
penyelenggara negara dengan melakukan perbaikan mekanisme penempatan dan
perlindungan TKI khususnya yang bekerja di Arab Saudi agar kasus-kasus tersebut
tidak terulang kembali.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah
ini tidak dijelaskan secara eksplisit prosedur penempatan dan perlindungan TKI
mulai dari pra pemberangkatan, pemberangkatan, dan pasca pemberangkatan.
Meskipun demikian, diharapkan dengan hasil analisis terhadap kasus Satinah ini
dapat dijadikan acuan setidaknya pengambilan sikap yang tepat dari para aspek
yang terlibat agar meminimalisisr kasus-kasus penyiksaan TKI yang sudah
menyalahi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi. (2003). Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Persada.
Pusat Kajian Wanita dan Gender. (2007). Hak Azasi Perempuan Instrumen
Hukum untuk Mewujudkan
Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Azmy, A.S. (2011). Negara dan Buruh Perempuan. Tesis, Program Pasca
Sarjana
Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Baharudin, E. (2007). Perlindungan Hukum Terhadap TKI di Luar Negeri Pra
Pemberangkatan,
Penempatan, dan Purna Penempatan. Jurnal Ilmiah. 4,
(3), 168-176.
Palupi, S. (2014). Kewajiban Negara Bayar Diyat. [Online].
Azis, I. (2014). Kronologi
Kasus Satinah, Perjuangan TKI Semarang dari Jerat
Pancung.
[Online].Tersedia:http://www.aktualpost.com/2014/03/26/13206
kronologi-kasus-satinah-perjuangan-tki-semarang-dari-jerat-pancung/ [7 April 2014].
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus