Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Artikel Jurnal Adabiyyat (Iwan Ridwan, et al)

Potret Hidup Dunia Kepenulisan Artikel Populer yang Kujalani

Gambar

Puisi Detakpekanbaru

Merawat Masa Depan Sastra Anak Indonesia

“Merawat Masa Depan Sastra Anak Indonesia”, Majalah Sastra Tarebung, Februari 2015 Merawat Masa Depan Sastra Anak Indonesia oleh Iwan Ridwan Dimanakah para kritikus sastra anak Indonesia? Karya sastra anak telah banjir di pasaran. Penulis sastra anak pun datang silih berganti. Mulai dari kalangan anak-anak, hingga kaum dewasa. Kehadiran “Kecil-Kecil Punya Karya” (KKPK) telah menyedot animo masyarakat sastra Indonesia. Namun sayang, belum ada sosok yang konsisten mengungkap mutiara kehidupan dalam karya sastra anak Indonesia. Membaca sejarahnya, sastra anak telah melahirkan sejumlah karya yang berkualitas dan pengarang ulung seperti Ardiwinata, Aman Dt. Madjoindo, M. Djajadisastra, M. Soemaatmadja, Muhammad Moesa, M. Saleh, serta R. Satjadibrata yang dapat disejajarkan dengan sastrawan adiluhung  seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Pramoedya, ataupun Utuy Tatang Sontani. Selepas kepergian H.B. Jassin, Paus Sastra Indonesia, dunia kritik sastra Indonesia masih nyala-redup

Metamorfosis Bentuk (Subsidi)

"Metamorfosis Bentuk (Subsidi)”, Teroka Bahasa, Koran Sindo, 2 Mei 2015 Metamorfosis Bentuk (Subsidi)* o leh Iwan Ridwan             Dalam rumpun Austronesia, bangsa Indonesia memiliki potensi menjadi negara yang masif terhadap bahasa nasional. Sebagai salah satu negara jajahan, Indonesia dapat melepaskan diri dari interferensi asing dalam pencetusan bahasa nasional. Alhasil, bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai bahasa nasional sejak kelahirannya dalam “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Hingga kini, bahasa Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan dan penyempurnaan. Hal itu tak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh para pakar bahasa untuk terus menjaga eksistensi bahasa Indonesia. Tak dapat dimungkiri, kelahiran bahasa Indonesia tak terlepas dari bahasa daerah yang beragam. Di samping itu, arus global juga menuntut bahasa Indonesia menyaring geliat kebahasaan, khususnya bahasa asing yang kekinian begitu marak digunakan. Bahasa Indonesia menjelma maka

Acuh dan (Tak) Acuh

"Acuh dan (Tak) Acuh”,   Alinea, Riau Pos, 31 Mei 2015 Acuh dan (Tak) Acuh o leh Iwan Ridwan Masyarakat berpotensi “meng(acuh)kan” pemerintah karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dirasa tidak pro rakyat. Misalnya, kenaikan harga BBM yang periodik, palu hukum yang tak pasti, pembebasan penjarah rakyat (koruptor),  dll. Fenomena tersebut juga rentan dengan sikap “(tak) acuh” dari pemerintah agar bisa menarik simpati rakyat. Namun, mengapa sampai saat ini pemerintah terkesan “(acuh)” terhadap kondisi rakyat serta “tak (acuh)” terhadap investor-investor asing? Kutipan kalimat pada pada paragraf di atas dalam menggunakan kata “acuh” dan “tak acuh” dimaknai terbalik/salah dari arti sebenarnya. Contoh lain juga bisa dilihat dalam bait lagu “Kau Menolakku, acuhkan diriku” dalam Cinta Ini Membunuhku dari grup band D’Massive. Menolak tapi mengacuhkan. Sungguh satu kombinasi yang membingungkan. Kasus yang sama juga dimaknai keliru pada lagu karya grup musik Slank. Pada

Belajar di Madrasah T(s)anawiah

   “Belajar di Madrasah T(s)anawiah”, Bidasan Bahasa, Media Indonesia,  7 Juni 2015 Belajar di Madrasah T(s)anawiah (MTs) o leh Iwan Ridwan Sebagai lembaga formal, MTs bisa diandalkan dalam mencetak lulusan peserta didik yang berkualitas, baik itu dalam hal ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Namun,              di era modern saat ini lembaga sekolah yang berbasis “agama” tersebut sering dikaitkan dengan paham-paham radikalisme bahkan tindak terorisme seperti “ISIS”. Padahal MTs berhasil mencetak tokoh-tokoh besar yang kini duduk di kursi pemerintahan. Oleh karena itu, jangan sampai ada prasangka negatif terhadap lembaga formal berbasis keagamaan seperti MTs, Madrasah Aliah, ataupun pesantren yang sejatinya berlandaskan kebaikan dan kebenaran. Berbicara Madrasah T(s)anawiah tentu berhubungan dengan aspek kebahasaan yang menjadi saksi dinamika sosial masyarakat. Ditinjau dari kamus KBBI (2008), kata “Tsanawiah” tidak dimasukkan ke dalam entri kamus tersebut. KBBI (2008

Sastra Akademis

"   Sastra Akademis”, Koran Merapi Yogyakarta, 5 Juli 2015 Sastra Akademis oleh Iwan Ridwan             Tulisan ini hadir ditengah kecemasan penulis terhadap kondisi kaum intelektual  yang kian lupa akan hakikatnya sebagai agen perubahan. Dinamika sosial yang terus berjalan kurang diiringi sikap kritis dan perilaku aktif dari kalangan intelektual, khususnya di dunia akademisi. Berbicara akademis, pandangan tertuju langsung kepada dunia kampus atau sering disebut dunia kuliah. Dunia kampus identik dengan iklim ilmiah, berwawasan luas, dan tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi). Merasakan dunia perkuliahan adalah impian sebagian besar masyarakat. Begitupun penulis.             Fenomena ijazah palsu yang kini marak terjadi jangan sampai menyurutkan motivasi mahasiswa dalam menyumbangkan pemikirannya untuk membangun bangsa yang lebih baik. Berbeda zaman, berbeda pula tantangan yang dihadapinya. Jika era “orde baru” mengisahkan otoritas penuh pemerintah dan terkurungnya

Sesungguhnya Kemiskinan Bukan untuk Dientaskan

“Sesungguhnya Kemiskinan Bukan untuk Dientaskan”, Esai Bahasa, Majalah BSO Literat, edisi I Februari 2016 Sesungguhnya Kemiskinan Bukan untuk Dientaskan oleh Iwan Ridwan*             Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bangsa kita masih berkutat pada persoalan kemiskinan dan kesejahteraan. Tak pelak MEA ibarat panggung sandiwara yang menghadirkan sarang lebah di tengah pentas. Madu dalam sarang tersebut bisa saja menguntungkan. Bisa juga lebah yang ada di dalamnya tiba-tiba terusik kemudian menusuk para pemain dan meneror para penonton.             Fenomena itu pun mengundang pertanyaan, bagaimana pemerintah “mengentaskan kemiskinan” saat ini? Pertanyaan tersebut cukup sering didengar dan dibaca. Konstruksi (mengentaskan) “kemiskinan” juga mengundang pertanyaan bagi para bahasawan dan mahasiswa yang bergiat di Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ibarat seorang detektif, mari kita telusuri misteri di balik konstruksi “mengentaskan kemiskinan” yang eks

Puisi Populer yang Populi

“Puisi Populer yang Populis”, Padang Ekspres, 7 Februari 2016 Puisi Populer yang Populis oleh Iwan Ridwan             “Apakah media menulis puisi sebegitu bebasnya? Ketika media massa cetak sudah lama menjadi alat propaganda bagi produksi sosial teks, dunia maya (cyber) seperti facebook misalnya, kini dianggap menjadi salah satu alternatif lain yang praktis...”, begitulah penggalan pembuka kegelisahan Rio Rinaldi dalam esainya berjudul Puisi Cyber, Terbuang Waktu Kecil, Besar Jadi Senator (Padeks, 8/11/2015).             Penulis yang juga dosen ini turut menyuarakan aspirasinya atas puisi-puisi yang tercipta di dunia maya, yang kemudian disebutnya “puisi cyber”. Intinya, Rinaldi mempersoalkan kualitas puisi-puisi dunia maya (cyber) yang dipublikasikan di facebook, twitter, blog, dsb. dan tanggung jawab para penulisnya.             Tampaknya, pelabelan “puisi cyber” juga harus kita bedakan. Antara puisi di media sosial yang tanpa seleksi dengan media digital yang masih m

Dilema Sastrawan dalam Kemerdekaan

“Dilema Sastrawan dalam Kemerdekaan”, Suara Karya, 6 September 2015 Dilema Sastrawan dalam Kemerdekaan oleh Iwan Ridwan “Sebagai anggota masyarakat, seniman (sastrawan) juga menjadi bagian dari masyarakat. Ia juga ingin diakui keberadaannya oleh masyarakat”, ungkap Utuy melalui tokoh Dar dalam lakon Di Muka Kaca.             Sastrawan memiliki indraloka yang luar biasa. Faktanya, beragam karya terlahir dari tangan-tangan dingin sastrawan Indonesia. Mulai dari lapangan puisi, prosa, maupun drama. Dalam praktiknya, sastrawan lebih hebat daripada kucing. Jika kucing tajam penciumannya, maka sastrawan membaurkan semua pengindraan yang dimilikinya untuk merekam semua peristiwa dalam kehidupan.             Mencermati kehidupannya dalam berkarya, sastrawan melebihi penyedot debu yang hanya menyerap semua partikel-partikel tak terlihat. Sastrawan lebih jauh dari itu. Ia tidak hanya mampu menyerap semua lapis kehidupan (suka maupun duka), tetapi juga membungkus fenomena dunia k

Menjaga Masa Depan Anak Bangsa

“Menjaga Masa Depan Anak Bangsa”, Opini CTJ, Warta Kota, 17 September 2015 Masa Depan Anak Bangsa Plural oleh Iwan Ridwan             Beberapa pekan terakhir, bangsa Indonesia digemparkan oleh beragam kasus yang menimpa anak. Penculikan, pelecehan, penganiayaan, hingga pembunuhan tak berhenti menghantui anak Indonesia. Hal ini diperkeruh dengan kehadiran predator pemangsa masa depan anak. Predator itu bernama pedofil. Pedofil merupakan sebutan orang yang mengidap kelainan terhadap anak di bawah umur. Hingga terjadilah tindak asusila yang menimpa puluhan anak di Indonesia. Hal ini telah terjadi di Cirebon, Jakarta, dan sejumlah wilayah di Indonesia. Akibatnya, psikologis korban keganasan pedofil itu pun terancam. Efeknya, akan terlahir spesies yang sama jika tak ada penanganan serius pemerintah.             Mari berkaca pada kisah tragis Angeline beberapa bulan lalu. Ingat bagaimana kisah tragis Angeline, anak jelita berusia 8 tahun yang tewas di tangan Ibu angkatnya. Kas