Sastra Akademis
" Sastra Akademis”, Koran Merapi
Yogyakarta, 5 Juli 2015
Sastra Akademis
oleh
Iwan Ridwan
Tulisan ini
hadir ditengah kecemasan penulis terhadap kondisi kaum intelektual yang kian lupa akan hakikatnya sebagai agen
perubahan. Dinamika sosial yang terus berjalan kurang diiringi sikap kritis dan
perilaku aktif dari kalangan intelektual, khususnya di dunia akademisi.
Berbicara akademis, pandangan tertuju langsung kepada dunia kampus atau sering
disebut dunia kuliah. Dunia kampus identik dengan iklim ilmiah, berwawasan
luas, dan tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi). Merasakan dunia perkuliahan
adalah impian sebagian besar masyarakat. Begitupun penulis.
Fenomena ijazah palsu yang
kini marak terjadi jangan sampai menyurutkan motivasi mahasiswa dalam
menyumbangkan pemikirannya untuk membangun bangsa yang lebih baik. Berbeda
zaman, berbeda pula tantangan yang dihadapinya. Jika era “orde baru”
mengisahkan otoritas penuh pemerintah dan terkurungnya rakyat, maka di era
modern hal itu justru berbalik dengan rakyat sebagai pemegang kasta tertinggi
arah dan tujuan berbangsa dan bernegara.
Tak ayal, dunia
kampus menyajikan replika kehidupan nyata di masyarakat yang terhimpun melalui
wadah intelektual sebagai sarana pengembangan potensi diri untuk memajukan
peradaban. Angan-angan terwujudnya akademisi yang profesional selalu
diidam-idamkan oleh masyarakat. Artinya, manusia yang diciptakan dunia kampus
tidak sebatas manusia yang cerdas pemikiran, tetapi juga cerdas hatinya. Hal
ini harus dijunjung tinggi oleh para penggiat dunia kampus bukan hanya
mahasiswa sebagai subjek dan objek, melainkan juga lapisan penopang lainnya
seperti tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Pada masa krisis
politik, Sitor Situmorang pernah menulis artikel yang berjudul “Sastra
Revolusioner”. Tulisan itu sebenarnya bernada kritik pedas terhadap kondisi
sosial politik yang tidak memihak rakyat. Kondisi itu juga berkaitan dengan
dunia literer/kepenulisan yang menyebabkan sumbu kepengarangan sering kehabisan
nyali dan nyala kehidupan. Lebih lanjut, Sitor mengatakan revolusi sastra yang
dikembangkan kaum borjuis pun dapat diterapkan di mana saja, termasuk di
Indonesia.
Terilhami tulisan
Sitor di atas, seketika penulis tergerak untuk membaca kondisi sastra di
lingkungan kampus, baik itu melalui aktivitas sastra ataupun pengajaran sastra
di perkuliahan. Berbeda dengan pengajaran sastra di bangku SD, SMP, dan SMA,
geliat sastra di kampus sejatinya ditujukan mengasah kepekaan mahasiswa dalam
mengkaji sastra secara ilmiah dengan landasan berpikir yang jelas. Hal itu
dikarenakan mahasiswa yang tengah belajar dan meneliti sastra, ke depannya di
harapkan mampu mengawal isu-isu karya sastra ataupun bisa menjadi “Paus Sastra”
seperti H.B. Jassin.
Akademisasi
Sastra
Akademisasi
sastra merupakan proses pembelajaran sastra terhadap sekelompok orang yang
sedang mengenal, mengakrabi, mengkaji sastra menuju ke haribaan terdalam wacana
“sastra”. Proses tersebut bisa dilakukan di lingkungan kampus, khususnya melalui
lembaga atau unit kegiatan yang serius menjalankan sirkulasi sastra secara
intens. Penggiat sastra saat ini tidak terpatok pada orang yang berkuliah di
jurusan sastra, tetapi lebih luas dari itu: siapapun bisa belajar sastra tanpa
mengenal jurusan ataupun status akademis.
Akademisasi
sastra akan berjalan dengan menempuh pendekatan yang tertuju langsung terhadap
pengenalan, pelatihan, dan pembekalan “benih muda” terhadap wacana sastra.
Sebagai benih, mahasiswa yang berkecimpung di dunia sastra diharapkan akan
tumbuh menjadi manusia yang kuat ibarat pohon yang tak kalah oleh badai.
Filosofis pohon dapat kita padukan dengan potensi mahasiswa yang terus-menerus
berproses dan belajar. Lama-kelamaan benih itu akan tumbuh menjadi tunas lalu
menghasilkan dedaunan (ilmu) yang secara bertahap akan lebat. Sebelum mereka
berdiri sempurna, perlu ditopang fondasi yang kuat yakni oleh pemahaman
komprehensif tentang apa itu sastra dan bagaimana sastra ke depannya. Hal ini
akan melahirkan generasi emas Indonesia dalam sastra di lapangan akademisi. Hal
itu pun harus ditunjang dengan ketersediaan bacaan, pendalaman wacana sastra
baik itu melalui tenaga pendidik maupun unit-unit terkait yang berkecimpung di
dunia sastra. Dengan demikian, akan munculnya akademisi sastra yang memiliki
pemahaman tidak sebatas teoritis dan formalitas belaka, tetapi juga melahirkan
kader-kader yang melandaskan pemikirannya secara praktis berdasarkan fenomena
nyata yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan “kesucian”
sastra yang menjadi potret kehidupan sosial suatu masa.
Atas dasar
tersebut, kehadiran sastra di kalangan akademis atau sastra akademis haruslah
dipandang sebagai suatu hal yang pokok di samping pembelajaran lainnya seperti
bahasa ataupun seni. Pembelajaran sastra dan pengajarannya di kalangan akademisi,
diharapkan tidak menjadi formalitas pendidik dan peserta didik yang mengontrak
matakuliah sastra ataupun sekadar “numpang eksis” mengisi nilai-nilai
pembelajaran sastra, tetapi jauh dari itu. Sastra akademis sejatinya mampu
mengembangkan potensi para pelaku yang terlibat di dalamnya, baik itu dengan
cara pendidikan, pelatihan maupun pembekalan. Jika hal itu terjadi, maka akan munculnya
kader-kader yang tidak hanya pintar menulis sastra, tetapi juga pandai
mengkaji/meneliti, bahkan mengkritik sastra yang berlandaskan rambu-rambu
sastra yang ada.
Kebanjiran
pengarang sebenarnya melanda dunia literer Indonesia, khususnya dalam ruang
karya sastra, baik itu puisi, cerpen, maupun novel. Akan tetapi, “banjir
pengarang” itu belum diiringi minat untuk menjadi “kritikus sastra” yang
konsisten. Selepas H. B. Jassin, para kritikus sastra di Indonesia memang
banyak bermunculan, tetapi konsistensinya sampai saat ini belum begitu
menggembirakan. Semoga setelah ada pengkaderan terhadap wacana sastra, hal
tersebut akan terbayar dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, fenomena sastra
dari masa ke masa akan terus terekam dalam ingatan dan diejawantahkan melalui
tulisan-tulisan yang kekal dalam wacana “sastra” di Indonesia.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus