Merindukan Karawang Kota Lumbung Padi
“Merindukan Karawang Kota Lumbung Padi”,
Opini Mereka Bicara, Radar Karawang, 25 April 2016
Merindukan
Karawang Kota Lumbung Padi
oleh
Iwan Ridwan
Isu
kekeringan dan krisis pangan akibat pemanasan global dan cuaca ekstrem,
mewarnai perjalanan beberapa kepala daerah di Jawa Barat yang dilantik 2 bulan
lalu. Hampir semua daerah mengalami krisis pangan. Bukan hanya itu, kini
situasi bencana alam tengah menguji para kepala daerah yang terpilih.
Isu itu
ditambah dengan harga bahan pokok yang ikut meroket naik. Akibatnya, daya beli
masyarakat anjlok seperti kereta api yang keluar dari relnya. Hal ini juga terlihat dari Indeks Harga
Konsumen di Jawa Barat yang mengalami inflasi (kemerosotan) sebesar 0, 59 persen pada Januari 2016. Dari kelompok
inflasi yang ada, “kelompok bahan makanan” menduduki peringkat pertama, yang
merosot sekitar 2, 84 persen.
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar 2016 menunjukkan, inflasi pada kelompok ini
dipicu oleh kenaikan harga-harga komoditi pada subkelompok; padi-padian,
umbi-umbian dan hasilnya sebesar 1,65 persen, daging dan hasil-hasilnya sebesar
7, 34 persen, ikan segar sebesar 1,07 persen, ikan diawetkan sebesar 2,16
persen, telur, susu dan hasil-hasilnya sebesar 4,53 persen, buah-buahan sebesar
1,87 persen, bumbu-bumbuan sebesar 8,04 persen, lemak dan minyak sebesar 0,09
persen, bahan makanan lainnya sebesar 0,55 persen.
Statistik ini mengundang tantangan
tidak hanya untuk pemerintah pusat/Jabar, tetapi juga kepada para kepala daerah
di Jawa Barat, khususnya yang telah “dilantik” untuk mengasuh daerahnya
masing-masing agar sejahtera. Salah satu kepala daerah di Jawa Barat yang
menarik ditunggu kiprahnya adalah Bupati kita. Dalam sejarahnya, sejak dipimpin
Raden Adipati Singaperbangsa (1633-1677), Karawang selalu dipimpin oleh para
raden atau jenderal yang mayoritas
“laki-laki”.
Sebagai Bupati perempuan pertama di
Karawang, realisasi visi misinya patut kita awasi bersama hingga 5 tahun ke
depan. Mari kita kawal bagaimana beliau melaksanakan perubahan dengan tema
besar “Sinergikan Pembangunan” (Pikiran Rakyat, 17/2). Lantas, bagaimana
tantangan pemerintah Karawang di masa depan?
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Karawang dari 2010-2014 terus mengalami kenaikan. Dari 64, 58 persen pada 2010
naik hingga 67, 08 persen di 2014. Artinya, selama empat tahun Kabupaten
Karawang memiliki modal yang bagus untuk mengembangkan segala potensi daerahnya
untuk membangun daerah yang sejahtera dan mandiri.
Meski demikian, Karawang tetap saja
belum bisa disebut pangkal perjuangan jika gagal mempertahankan predikat
“lumbung padi” yang dulu sempat melekat. Akankah kita merelakan begitu saja,
lumbung padi digerus menjadi lumbung industri tanpa ada upaya melindungi?
Keresahan ini bukan tanpa alasan.
Kekeringan yang melanda sejumlah daerah mengakibatkan produksi pangan terancam.
Sehingga, pelarian kita hanyalah impor dan impor. Daerah-daerah di Indonesia,
khususnya Jawa Barat tak kuasa membendung persoalan tersebut. Terutama
kabupaten kita (Karawang) seolah ditinggal lari oleh baju “lumbung padi”
nasionalnya. Pabrik-pabrik semakin membludak sedang ketahanan pangan semakin
merosot. Sebab, luas lahan
kering di tiap kecamatan Karawang mencapai 38, 542 ha. Fenomena itu berjungkir
balik dengan upaya penanaman pohon/hutan rakyat yang baru mencapai 4, 555 ha.
Karena itu,
variasi pangan di Karawang harus ditingkatkan kapasitas dan budidayanya.
Tanaman pangan semacam kacang-kacangan (tanah, kedelai, hijau), jagung sejatinya
dapat memperkuat ketahanan pangan masyarakat jika dilakukan konsisten dengan
lahan yang “terjaga” dari godaan pendirian pabrik. Artinya, peran instansi
terkait, masyarakat, dan pemda harus berjalan harmonis dan terpadu melalui
program-program terencana.
Hal ini
sebagai jawaban Karawang yang kini dihuni ratusan pabrik di beberapa kawasan
Industri semacam KIIC, BIC, dan beberapa lokasi industri lainnya. Dari Data
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan, dan Energi Karawang tahun 2013,
total industri Karawang mencapai angka 9.529. Angka ini berkembang pesat sejak
2008 yang hanya berkisar 9.045 industri.
Kita patut berbangga dengan angka
ini, yang menjadikan daerah kita kawasan industri terbesar di Indonesia, bahkan
asia. Namun, bayangkan dan renungkan bagaimana
jika pabrik-pabrik itu gulung tikar dan masyarakat serta pemuda yang
terlibat dalam aktivitas itu menjadi terabaikan dan terlalu berpangku tangan
pada pabrik, pabrik, dan pabrik.
Hal ini
menjadi imbauan agar masyarakat Karawang tidak terlalu nyaman dengan pesatnya
industri yang ada. Akan jauh lebih aman jika industri tersebut dapat dipegang
oleh masyarakat Karawang itu sendiri. Jangan sampai kita “asing” di daerah
sendiri, bukan?
Sinergikan Pembangunan
Sinergi pembangunan akan berhasil jika kita mampu
menyelaraskan ucap-tekad-lampah (ucapan-tekad-tindakan) sebagaimana
warisan Ki Sunda melalui hal-hal berikut. Pertama, ubah pandangan mendewakan
“industri”. Membludaknya pabrik-pabrik industri harus diikuti membludaknya
wadah-wadah ekonomi kreatif berbasis potensi lokal yang ada di Karawang. Jangan
sampai pembangunan hanya berpatok pada perluasan industri pabrik, tanpa
pendalaman jati diri Karawang yang kaya akan budaya dan sumber daya alam. Mari berkaca
pada struktur perekonomian Karawang menurut Lapangan Usaha 2012-2014 bahwa pertanian,
kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang 4, 16 persen. Angka ini jauh
dibanding Industri Pengolahan yang mencapai 70, 99 persen (BPS, 2015).
Kedua, fungsikan kembali ruang terbuka hijau (RTH) serta
lindungi warisan budaya (candi, artefak, dsb.) untuk edukasi warga dan
penyelenggaraan kegiatan positif. Hal ini berguna untuk memperkuat harmonisasi
antara pemerintah dan masyarakat, antara pemimpin dan rakyatnya. Program ini
dapat didukung dengan peran aktivis masyarakat, seniman, budayawan, serta para
mahasiswa sebagai agen perubahan menuju masyarakat yang sadar akan budaya dan
jati dirinya.
Kedua hal tersebut harus didukung oleh kesadaran dan
keinginan dari hati terdalam masyarakat Karawang sebagai kota “pangkal
perjuangan”. Semoga pemimpin baru turut melahirkan inovasi baru yang selaras
antara kehidupan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
dengan Tuhannya. Ketika kita merusak alam, alam akan merusak kehidupan kita.
Begitupun identitas kita sebagai lumbung padi jangan dihanyutkan begitu saja.
Mari berbenah!
Komentar
Posting Komentar