Safari Presiden
“Safari Presiden”, esai Wisata Bahasa
Pikiran Rakyat, 20 Maret 2017
Safari Presiden
oleh Iwan Ridwan
Ditengah euforia heroisme
pahlawan, bangsa kita diguncang berbagai bencana yang berpotensi
meremuk-redamkan keutuhan NKRI. Tidak hanya bencana alam, tetapi juga bencana
kemanusiaan yang terwujud pada retaknya keharmonisan bangsa. Sebab, serangkaian
peristiwa intoleransi kian marak dalam beberapa pekan terkahir.
Baru-baru ini teror bom
molotov di sebuah gereja di Samarinda, menyiratkan tanda sebuah gerakan
terselubung yang semakin nyata. Mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
pancasila ditengah isu berbau etnis dan agama. Belum lagi, palu hukum tengah
diuji dalam dugaan penistaan agama yang digelorakan kaum mayoritas dalam aksi
damai 4 November lalu dan 2 Desember.
Aksi itu membentuk sebuah
simbol 411 dan 212 yang melambangkan homogenitas yang semakin menguat. Akan
tetapi, hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana homogenitas itu berjalan
harmonis di tengah heterogennya bangsa Indonesia. Dalam suasana pluralisme
Nusantara. Hal inilah yang tampak diupayakan Sang Presiden dalam safarinya ke
berbagai kesempatan pertemuan.
Istilah “safari presiden”
kian ramai diperbincangkan oleh berbagai media massa, baik cetak maupun
nasional. Kemunculan istilah ini tak terlepas dari dinamika perpolitikan bangsa
Indonesia yang semakin memanas. Dalam hal ini, bahasa menjadi saksi fenomena
sosial yang dinamis seiring perkembangan zaman. Bahasa memotret suasana dan
latar sosiologis manusia sebagai makhluk penggunanya (Chaer, 2009).
Kata safari yang
berpadanan dengan “ekspedisi, perjalanan, petualangan” (Kamus Tesaurus Bahasa
Indonesia, 2008) telah melangkahi makna denotatifnya sebagai aktivitas
berjalan-jalan wisata. Kata “safari” yang disandingkan dengan frasa “politik presiden Jokowi” menyiratkan
sebuah makna yang menarik. Frasa “safari politik presiden Jokowi” bermakna strategi
presiden Jokowi dalam menyelesaikan persoalan ditengah rakyatnya, terutama yang
berkaitan dengan politik. Makna konotasi ini membentuk sebuah metafora sebagai
perlambang dinamika perpolitikan di Indonesia.
“Safari presiden” menjadi
sebuah simbol perjalanan pemimpin negara untuk menentramkan kekalutan
rakyatnya. Gaya blusukan yang melekat pada kepemimpinan Jokowi tampak
logis dengan kemunculan safari presiden yang berintikan sebuah gerakan
perjalanan atau penyelidikan (KBBI, 2016).
Ibarat detektif, Sang
Presiden secara bertahap menemui berbagai unsur penting dalam menjaga keutuhan
bangsa dan negara. Mulai dari aspek pertahanan fisik militer, para penguasa
parpol, hingga dialog dengan para ulama Nusantara sebagai mediator umat dalam
menentukan jalan persatuan dan kesatuan bangsa. Pertemuan Sang Presiden dengan
berbagai tokoh penting sebelum dan sesudah aksi damai 411 tersebut,
mencerminkan sebuah gejolak kultural era kepemimpinan Jokowi-JK.
Dalam berbagai kesempatan,
Sang Presiden tampak berupaya meyakinkan rakyatnya terkait dugaan kasus
penistaan agama agar tetap berjalan dalam koridor yang aman. Hal ini dilakukan
untuk mencegah timbulnya perpecahan di tubuh rakyatnya, sehingga safari
humanisnya menjadi respons yang menarik. Semoga rakyat kian dewasa dalam
memandang segala persoalan yang melanda bumi pertiwi. Sebagaimana tujuan safari
sang presiden dengan segala pernak-pernik dugaan politik dan semacamnya,
haruslah kita pandang dengan kepala dingin dan harmoni.
Komentar
Posting Komentar