Ilmu Hitam dan Kita
“Ilmu Hitam dan Kita”, rubrik Teroka
Kompas, 20 Maret 2017
Ilmu
Hitam dan
Kita
oleh Iwan
Ridwan
Beberapa waktu lalu
masyarakat negeri ini dihebohkan pemberitaan terkait hal berbau mistis, gaib,
ilmu hitam, ataupun guna-guna. Manusia lima dimensi (dalam istilah Marwah Daud
Ibrahim) pada sosok Dimas Kanjeng/Taat Pribadi dipercaya mampu menghadirkan sejumlah
uang dengan jumlah yang fantastis (Kompas, 06/10). “Ilmu
pesugihan” yang dia lakukan
itu sempat menyedot
perhatian masyarakat. Tak pelak,
ribuan orang dari berbagai lapisan, baik
dalam maupun luar negeri sempat menjadi pengikutnya. Sungguh menakjubkan, seorang manusia mampu
memainkan pemikiran manusia modern dengan “ilmu
hitam” sebagai tanda
kedigdayaannya.
Persoalan ilmu
hitam dalam praktik perdukunan Dimas Kanjeng ini menjadi dua
mata pisau yang berlawanan. Di satu sisi ada kaum yang tak percaya karena berpangku
pada kebenaran ilmiah, rasionalitas, dan akurasi dalam bingkai ilmu
pengetahuan. Di sisi lain terdapat kubu yang memercayai hal yang irasional,
spiritual, dan sejenisnya (Anwar, 2011).
Keadaan ini amat
menarik untuk digali makna kulturalnya dengan pisau triadik Peircian dalam semiotika.
Ilmu hitam dipersepsi sebagai pengetahuan kebatinan dengan bantuan
makhluk halus yang digunakan untuk hal yang negatif (black magic) atau
positif (white magic) (Marcel Mauss dalam A General Theory of Magic, 1950).
Akan tetapi, makna “ilmu hitam” tampak lebih berlabuh pada citra yang jahat.
Kata “hitam” dikonvensi berpadanan dengan aroma keburukan atau remeh-temeh
seperti halnya makna daerah hitam, daftar hitam, kambing hitam, kuda hitam,
lembah hitam (Kamus Tesaurus, 2001).
Dalam konteks kematian,
warna hitam melambangkan suasana berkabung sehingga segala atributnya berwarna
hitam, mulai dari pakaian, celana, kerudung, payung, hingga kacamata. Warna
hitam juga yang mendominasi kehidupan rakyat Thailand setahun pascakeputusan
kontroversial putra mahkotanya, Maha Vajiralongkorn. Sang putra mahkota
memutuskan untuk menunda penobatannya karena masih berkabung dengan wafatnya
Raja Bhumibol Adulyadej. Alhasil, kendali kerajaan diserahkan kepada Kepala Dewan
Penasihat Kerajaan Prem Tinsulanonda (Kompas,17/10).
Menarik mencermati
fenomena budaya tentang representasi “hitam” tersebut. Corak hitam dalam
konteks ilmu hitam tampak dalam kegaiban, kejahatan dengan medan makna black
magic-nya (Michael A. Aquino dalam Black Magic, 1975). Di beberapa
negara, ilmu hitam amat ditakuti karena mendekati sihir jahat. Sebut saja
“Voodoo” di Haiti dan Afrika Barat, sihir Lamia suku Gypsi, sihir Na Munda
Indian, tarian Kyuku suku Kyuku, ataupun “santet” dan “teluh” di Indonesia.
Mediasi Ilmu Hitam
Dalam kontur kasus ilmu
hitam Dimas Kanjeng, “kejahatan” secara tidak langsung terepresentasikan dalam sosok “penipu” juga
“pahlawan”. Hal itu terlihat dari kacamata kasus dugaan pemalsuan
uang sekaligus sosok yang dianggap mampu menyelematkan perekonomian pengikutnya dengan melipatkgandakan uang dari sejumlah mahar yang dibayarkan.
Persoalan penggandaan uang itu kuat diduga berawal
dari semacam propaganda atau bujuk rayu Dimas Kanjeng.
Ia mampu meyakinkan
para korban melalui
sihir bahasa (verbal)
dan ritual magis kebendaan (nonverbal) atau parole dalam kategoris
semiotika Saussurian.
Dari situ dia berhasil mengonstruksi sebuah kenyataan
denotatif (uang), juga konotatif (mahar), yang dalam prosesnya menciptakan keyakinan
bahkan ketaatan para korban. Kenyataan magis yang diciptakan itu adalah
kenyataan sesungguhnya. Kenyataan magis yang kemudian jadi sistemis dalam hidup
yang praktis (langue dalam istilah semiotika Saussure).
Uang dalam kasus ini
menjadi arsenal simbolik, yang karena memang berposisi sentral dalam hidup
pragmatis kita, ternyata mampu menghancurkan dinding pembatas realitas dan
irasionalitas. Mengaburkan pencernaan kita dalam melihat situasu atay
persoalan.
Sehingga sebagian orang yang terdidik (kuat) dalam cara berpikir rasional
pun pada akhirnya jatuh,tenggelam dalam ruang permainan simbol ini. Satu
keadaan yang dalam beberapa kasus menimbulkan semacam keyakinan bahwa praktik
ilmu hitam dengan produknya, seperti santet, klenik, teluh, okultisme dan semacamnya,
seakan juga bagian manifestasi nalar atau ilmu pengetahuan.
Tak Selalu Negatif
Bacaan semiotik fenomena
“Dimas Kanjeng” di atas memberi kita pelajaran. Mistisme magis sebagai fenomena
umum dalam hidup keseharian masyarakat kita semestinya dapat membuat manusia Indonesia tak terlalu sempit dan tergesa
dalam menjustifikasi suatu fenomena.
Berbagai kasus ilmu hitam
yang kembali hadir dalam kehidupan masyarakat kita belakangan ini harus
disikapi secara arif dan bijaksana. Setidaknya, sebelum kita menilai atau
menghakiminya, alangkah baik jika kita mengakui keberadaan hal tersebut, sebagai
fakta sosial, di keseharian kita.
Dalam realitas
eksistensialnya itu, ilmu hitam sebagai produk kultural suatu masyarakat
sebenarnya tak selamanya bersifat negatif. Kita sebaiknya memperitmbangkan
konteks pengguna dan penggunaannya. Hal itu terlihat dari sarana penyembuhan
tradisional semacam jampe atau mantra yang ditopang dengan
bahan-bahan dari kekayaan alam Indonesia.
Sekurangnya ia juga bisa
diposisikan sebagai salah satu kekayaan produk kebudayaan bangsa kita, terutama
apabila ia dapat diaplikasikan secara positif, dalam arti memberi maslahat bagi
orang banyak. Hal inilah yang seharusnya dihadirkan dalam berbagai ajang
kontestasi, baik promosi negeri, pariwisata, dokumentasi, dan sebagainya.
Karena bukan produk yang
biasanya salah, tetapi penggunaannya. Seindah atau seburuk apapun, produk
kultural itu netral, bebas dari nilai, sebelum ia dipraktikkan. Mengapa kita
tidak bisa mengakuinya, termasuk “ilmu hitam ini”? Bagaimana?
Komentar
Posting Komentar