Menghijrahkan Indonesia dari Cengkeraman Terorisme

  “Menghijrahkan Indonesia dari Cengkeraman Terorisme”, Esai, Radar Mojokerto, 23 Oktober 2016

Menghijrahkan Indonesia dari Cengkraman Radikalisme
oleh Iwan Ridwan*
            Tanah air kita kembali berduka. Kabar itu datang dari anak mungil tak berdosa yang menjadi korban teror bom molotov di Gereja Oikumene Sengkotek-Samarinda beberapa pekan lalu (Kompas, 16/11). Luka bakar yang diderita keempat anak bangsa menjadi tamparan keras ditengah kegaduhan kemajemukan bangsa, khususnya persoalan agama. Lilin-lilin yang dinyalakan masyarakat untuk mengenang salah seorang korban menyiratkan tanda gelapnya persatuan dan kesatuan. Ibarat masa hidup, lilin yang semakin lama mencair seolah merepresentasikan pudarnya “Bhinneka Tunggal Ika” dan pancasila sebagai falsafah banga.
            Ini merupakan babak baru dari aksi rasialisme masa kini, yang menganggap kelompok lain rendah. Sehingga berbuah benturan budaya dengan adanya konflik dan perselisihan. Hal ini dikatakan Sutiyono dalam Radikalisme dan Benturan Budaya (2010) menjadi warisan politik etis kolonialisme penjajahan, terutama kolonial Belanda.
            Tak pelak, keragaman Indonesia kala itu dimanfaatkan Belanda untuk menanamkan sikap-sikap intoleran terhadap suku bangsa yang lain. Menganggap suku bangsa tertentu lebih unggul daripada suku bangsa lainnya.  Hal ini terjadi akibat kurang kuatnya jiwa kebersamaan dan kolektivitas sebagai bangsa yang satu, bangsa Indonesia.
            Menurut Sutiono (2010: 10), keanekaragaman budaya, suku, ras, dan agama pada tingkat tertentu menimbulkan batas-batas sosial serta perbedaan-perbedaan yang menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial. Ketegangan inilah yang tampaknya dialami bangsa yang merdeka 71 tahun silam. Seolah kita ingin mengulang lagi sejarah kelam politik  adu domba (divide et impera) yang menjadi idiom Belanda untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan Indonesia.
            Gejala kerenggangan ini tampak terjadi pada penyakit yang kini dialami bangsa di era global. Kejenuhan tampak mendera baju pluralisme bangsa dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat Nusantara. Pemaknaan radikalisme yang pada mulanya bersifat positif karena memikirkan hakikat suatu ilmu/persoalan, kini mengalami penyempitan makna (peyorasi dalam istilah ilmu bahasa), dengan melahirkan produk etno-sentrisme yang mengikis nasionalisme kebangsaan.
Pluralisme Masa Depan       
            Alhasil, bangsa kita tengah berada dalam cengekeraman radikalisme seperti aksi terorisme yang terjadi secara tak terduga. Bisa kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Jiwa segenap bangsa ini pun terusik. Dirundung ketakutan dalam suasana terancamnya keamanan nasional. Fenomena ini berpotensi melemahkan beberapa sektor kehidupan fundamental seperti ekonomi dan sosial-budaya. Bangsa kita semakin menjadi sorotan tatkala bangsa Indoensia gagal merawat kebinekaan bangsanya. Padahal Indonesia terindeks sebagai negara terdamai dan teraman tertinggi dari hasil survei indeks perdamaian global (Global Peace Index, 2016).
            Lantas, bagaimana cara pemerintah agar benar-benar mampu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...” sebagaimana amanat UUD 1945? Jaminan perlindungan untuk setiap warga negara Indonesia, menjadi tantangan nyata obat penawar keretakan bangsa melalui semangat revolusi mental dalam nawacita pemerintahan Jokowi-JK saat ini.
Rangkaian peristiwa intoleransi yang kian marak beberapa pekan terakhir menyiratkan amanat agar bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan. Menjadi bangsa yang harmoni dan madani. Jangan sampai bangsa kita terlalu “santai” dikendalikan pihak lain sehingga kekayaan alam yang melimpah belum mampu dimaksimalkan, serta kekayaan sumber daya manusia dengan ratusan juta penduduknya terbengkalai begitu saja. Maka, harapan untuk Indonesia yang bermartabat tersendat akibat kurang solidnya membangun peradaban yang mahardika (berbudi luhur).  
Menghijrahkan Indonesia
Kita harus bersama-sama “menghijrahkan” jiwa raga kita untuk mengembalikan lagi Indonesia yang bermartabat seperti kemerdekaan yang diraihnya. Hijrah dapat dimaknai sebagai perjalanan di muka bumi untuk mencari pelajaran, hikmah, dan nasihat. Bisa juga untuk menunaikan ibadah “membela tanah air” (Jazuli, 2006). Oleh karena itu, mari kita refleksikan bagaimana upaya “menghijrahkan” Indonesia dalam konsep Islam untuk membawa bangsa ini menuju bangsa yang madani.
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, masyarakat Indonesia harus berorientasi pada kepentingan bersama. Hal itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hijrah sebagai ibadah kebangsaan. Bisri (2008) mengatakan bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa melibatkan dan memedulikan saudara-saudaranya sesama muslim.
Oleh karena itu, modal utama untuk “menghijrahkan” Indonesia dalam arti nonfisik adalah militansi kolektif dengan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadikan kita bersatu-padu dan bergerak dalam falsafah pancasila. Kelima sila dalam pancasila harus kembali diinternalisasikan dalam denyut kehidupan masyarakat Indonesia. Memiliki kepekaan antarsesama meskipun berbeda suku bangsa, membuka pikiran bahwa multikulturalnya bangsa ini diramu dalam semangat juang yang sama dalam kemerdekaan yang sejati. Semangat perjuangan ini amat potensial dalam kerangka pembangunan Indonesia di masa kini dan nanti.
Alhasil, terciptalah semangat kebangsaan seperti halnya perjuangan para founding fathers  yang heroik kala itu. “Penghijrahan” ini pula yang akan membuahkan skema perancangan serta pengurusan negara yang mapan. Sehingga, ada akselerasi dari aspek pembangunan negara dan masyarakatnya (Ghianovan, 2014: 98).

Melalui semangat yang tinggi dan tindakan yang nyata, kita mampu menghijrahkan sumber daya manusia Indonesia menjadi manusia yang unggul dan berdaya saing tinggi. Menciptakan iklim kebangsaan yang kritis dan berkarakter baja. Maka, harapan untuk Indonesia yang mahardika akan terwujud asalkan semua komponen bangsa secara sadar bergerak bersama. Menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan. Semoga!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi