Belajar di Madrasah T(s)anawiah
“Belajar di Madrasah T(s)anawiah”, Bidasan
Bahasa, Media Indonesia, 7 Juni 2015
Belajar di
Madrasah T(s)anawiah (MTs)
oleh
Iwan Ridwan
Sebagai
lembaga formal, MTs bisa diandalkan dalam mencetak lulusan peserta didik yang
berkualitas, baik itu dalam hal ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Namun,
di
era modern saat ini lembaga sekolah yang berbasis “agama” tersebut sering
dikaitkan dengan paham-paham radikalisme bahkan tindak terorisme seperti “ISIS”.
Padahal MTs berhasil mencetak tokoh-tokoh besar yang kini duduk di kursi
pemerintahan. Oleh karena itu, jangan sampai ada prasangka negatif terhadap
lembaga formal berbasis keagamaan seperti MTs, Madrasah Aliah, ataupun
pesantren yang sejatinya berlandaskan kebaikan dan kebenaran.
Berbicara
Madrasah T(s)anawiah tentu berhubungan dengan aspek kebahasaan yang menjadi
saksi dinamika sosial masyarakat. Ditinjau dari kamus KBBI (2008), kata
“Tsanawiah” tidak dimasukkan ke dalam entri kamus tersebut. KBBI (2008) justru
memasukkan kata “Sanawiah” untuk mengartikan tingkat sekolah menengah pertama
(sekolah agama Islam). Hal ini berbeda dengan anggapan masyarakat bahwa
penulisan kata “T(s)anawiah” yang dimaksudkan sebagai tingkat menengah pertama (sekolah
agama Islam) adalah “Tsanawiah”, bukan “Sanawiah”.
Fenomena tersebut menunjukkan
kesenjangan antara KBBI dan kenyataan di masyarakat. Jika kita berpegang pada
KBBI, maka papan-papan sekolah yang awalnya ditulis MTs (Madrasah Tsanawiah)
harus diganti menjadi Madrasah Sanawiah (MS). Akan tetapi, hal itu sulit untuk
diwujudkan mengingat penulisan MTs telah dipakai oleh seluruh rakyat se-Nusantara.
“T(s)anawiah”
merupakan hasil serapan dari bahasa arab yang menggunakan huruf (Tsa).
Dalam bahasa Arab, terdapat empat buah bunyi desis untuk penyebutan
bunyi /s/, yakni sin, sya, tsa, dan shad. Dari keempat variasi tersebut,
bahasa Indonesia hanya mengekalkan syin menjadi /sy/, sedangkan sisanya ditulis
dengan fonem /s/. Hadis tidak boleh ditulis Hadits. Jika kita
memakai kata hadits untuk menuliskan sebuah riwayat hukum Islam, maka langkah
yang diambil kurang tepat karena kata tersebut tidak baku.
Jika
kondisinya seperti di atas, bolehlah diterima jika kata tsanawiah ditulis
sanawiah. Akan tetapi, pedoman (KBBI) kurang adil dalam memandang nama
lembaga tersebut. KBBI kecolongan karena belum membakukan kata “Tsanawiah”
dengan penulisan yang sama. KBBI malah membakukan sanawiah sebagai nama
lembaga sekolah tersebut. Padahal ada kata yang diserap dari bahasa asing,
khususnya grafem <ts> yang dituliskan apa adanya . Hal tersebut terlihat
pada kata tsunami dan tsar.
Tsunami merupakan serapan dari bahasa
Jepang yang berarti gelombang laut dahsyat dan sempat menjadi bencana tragis bagi
kita di tahun 2004, sedangkan tsar diberi arti “gelar bagi kaisar Rusia
sebelum revolusi 1917”. Nah, bagaimana dengan istilah yang sudah memasyarakat
(Tsanawiah) tidak dilukiskan secara tepat sebagaimana tsunami dan tsar?
MTs
sudah begitu nyaman dalam pelafalan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang
harusnya ditinjau ulang oleh para punggawa bahasa, khususnya Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa karena “Tsanawiah” berkaitan dengan propernim (penamaan
lembaga) yang sarat akan makna dan sejarah. Waspadalah!
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus