Metamorfosis Bentuk (Subsidi)

"Metamorfosis Bentuk (Subsidi)”, Teroka Bahasa, Koran Sindo, 2 Mei 2015

Metamorfosis Bentuk (Subsidi)*
oleh Iwan Ridwan

            Dalam rumpun Austronesia, bangsa Indonesia memiliki potensi menjadi negara yang masif terhadap bahasa nasional. Sebagai salah satu negara jajahan, Indonesia dapat melepaskan diri dari interferensi asing dalam pencetusan bahasa nasional. Alhasil, bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai bahasa nasional sejak kelahirannya dalam “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Hingga kini, bahasa Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan dan penyempurnaan. Hal itu tak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh para pakar bahasa untuk terus menjaga eksistensi bahasa Indonesia.
Tak dapat dimungkiri, kelahiran bahasa Indonesia tak terlepas dari bahasa daerah yang beragam. Di samping itu, arus global juga menuntut bahasa Indonesia menyaring geliat kebahasaan, khususnya bahasa asing yang kekinian begitu marak digunakan. Bahasa Indonesia menjelma makanan pokok bagi siapapun yang menjalani hidup di Indonesia. Beragam perbedaan; suku, agama, ras, antargolongan mampu disatukan dan diharmoniskan oleh bahasa Indonesia. Hal inilah yang harusnya memperkuat kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia.
Beberapa pekan yang lalu, rakyat Indonesia sempat dibingungkan oleh situasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang naik turun. Layaknya lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung, masyarakat seolah-olah diombang-ambing oleh liku-liku kebijakan yang kurang memberikan jawaban terhadap persoalan yang dihadapi. Dalam hal ini, pemerintah kurang jeli dalam mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengatasi persoalan yang menimpa bangsa, terutama persoalan BBM. Jangan sampai masalah BBM dipendam-pendam sehingga memunculkan masalah baru yang berkelanjutan.
Efek domino BBM begitu terasa dalam semua roda kehidupan. Penyebutan “Subsidi BBM” hampir setiap detik kita dengar dan lihat, baik itu dalam media elektronik maupun media cetak. Subsidi selalu dijadikan primadona bagi pemerintah untuk meredam segala persoalan yang menimpa bangsa. Akan tetapi, bangsa Indonesia belum mampu berdiri secara sempurna dalam menerjang harga minyak dunia yang tak menentu.  Hal ini mengakibatkan harga BBM di Indonesia fluktuatif sehingga rakyat terkena imbas dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Di samping itu, kedaulatan pangan juga masih dihantui importasi dan subsidi-subsidi yang menjadi simalakama bagi pemerintah.
Berbicara subsidi, tentu erat kaitannya dengan aspek linguistik (bahasa). Dalam penuturan, subsidi sudah begitu populer di telinga masyarakat. Menurut KBBI (2008), “subsidi” adalah bantuan uang kepada yayasan, perkumpulan, dsb. yang biasanya diberikan oleh pemerintah. Kelahiran kata “subsidi” tak terlepas dari fenomena sosial yang terjadi sejak kebijakan subsidi diberlakukan.
Subsidi telah melahirkan beragam program yang dipakai pemerintah, seperti subsidi BBM, subsidi silang, subsidi beras, subsidi listrik, subsidi parpol, dsb. Selain itu, masyarakat juga tengah akrab dengan istilah harga bahan bakar (bersubsidi) dan harga bahan bakar (nonsubsidi). Hal tersebut menunjukkan bahwa kata “subsidi”  merupakan kata yang bisa bermetamorfosis ke dalam bentuk lain, seperti “menyubsidi”, “subsidi-subsidi”, “penyubsidi”.
Pada awalnya, kita masih ragu untuk menyebut kegiatan memberikan subsidi dengan sebutan: “menyubsidi”. Hal ini disebabkan kata “subsidi” masih dirasa asing jika digunakan pada bentuk afiks me(N)-. Pada KBBI (2002), kata “subsidi” belum bermetamorfosis menjadi bentuk “menyubsidi”. KBBI (2002) hanya memasukkan entri bersubsidi ke dalam bentuk “subsidi”. Akan tetapi, sama halnya dengan seekor ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, akhirnya pada KBBI (2008) kata “subsidi” mengibaskan sayapnya dan melahirkan keindahan dengan munculnya bentuk “menyubsidi”.
Sebagai bahasa yang egaliter, bahasa Indonesia sangat erat dengan pengimbuhan. Layaknya bumbu penyedap, pengimbuhan (afiksasi) penggunaannya sangat produktif dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pun kelahiran bentuk “menyubsidi” yang awalnya merupakan bentuk potensial karena belum dibakukan. Menyubsidi diberi arti “memberikan subsidi” (biasanya pemerintah).
 Fenomena di atas menggambarkan bahwa bahasa bersifat dinamis. Artinya, bahasa bergerak mengikuti perkembangan zaman. Begitu pun bentuk potensial “menyubsidi” yang muncul sebagai bentuk baru dalam bahasa Indonesia dan dipakai untuk ragam baku. Alhasil, kita bisa menyebutkan kata “menyubsidi” secara yakin dan pasti. Hal tersebut menggambarkan bahwa bahasa harus dikembalikan lagi kepada pemiliknya, yakni penuturnya.
Pernyataan di atas menyiratkan gagasan bahwa sebaiknya kita jangan memaksakan kekakuan dalam aturan baku bahasa Indonesia kepada masyarakat. Begitu pun persoalan menyubsidi, bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk para punggawa bahasa, terutama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam memandang bentuk-bentuk potensial lainnya yang belum dibakukan.
Bentuk potensial “menyubsidi” hanyalah satu dari beberapa mutiara bahasa yang belum terungkap keberadaannya. Bentuk potensial merupakan bentuk yang telah memenuhi kaidah baku bahasa Indonesia. Akan tetapi, kemunculannya perlu dorongan dan dukungan, sehingga secara legal dapat digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama yang selaras dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat hingga pemerintah untuk senantiasa membimbing bahasa Indonesia ke dalam gerbang kemajuan. Selain itu, peran media massa saat ini turut menjadi penentu keberhasilan bahasa Indonesia sebagai sarana pendidikan bangsa. Dengan demikian, akan terciptanya iklim berbahasa yang baik dan munculnya rasa peduli terhadap bahasa tercinta: bahasa Indonesia.


Setelah “menyubsidi” dimasukkan ke dalam entri bahasa Indonesia, kita tinggal menunggu metamorfosis lainnya dari bentuk “subsidi”, seperti “subsidi-subsidi”, “penyubsidi”, “subsidi listrik”, “subsidi beras”, dan bentuk lainnnya. Subsidi akan terus menjadi tren setiap tahunnya. Ibarat menaiki wahana roller coster, persoalan subsidi tak kalah saing dengan sensasi yang ditimbulkan wahana tersebut. Ditengah permainan, kita bisa menyaksikan harga barang-barang kebutuhan lain ikut meroket, serta “harga BBM” yang terus naik turun nan berkelok-kelok.
Harapan akan selalu terwujud jika ada tindakan untuk menjawabnya. Persoalan subsidi yang dijalankan Indonesia akan menjadi penentu kemandirian Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan. Begitu pun persoalan bahasa yang akan terus mengalami perkembangan. Bahasa akan selalu menjadi pendamping beragam fenomena sosial yang muncul dari masa ke masa. Sebaiknya, kita harus terus berupaya menggalang kekuatan untuk sama-sama membimbing Indonesia ke arah yang lebih baik, salah satunya dengan memperkuat integrasi bangsa atas bahasa tercinta, “bahasa Indonesia”.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi