Acuh dan (Tak) Acuh
"Acuh dan (Tak) Acuh”, Alinea, Riau Pos, 31 Mei 2015
Acuh dan (Tak)
Acuh
oleh
Iwan Ridwan
Masyarakat
berpotensi “meng(acuh)kan” pemerintah karena kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan dirasa tidak pro rakyat. Misalnya, kenaikan harga BBM yang
periodik, palu hukum yang tak pasti, pembebasan penjarah rakyat
(koruptor), dll. Fenomena tersebut juga
rentan dengan sikap “(tak) acuh” dari pemerintah agar bisa menarik simpati
rakyat. Namun, mengapa sampai saat ini pemerintah terkesan “(acuh)” terhadap
kondisi rakyat serta “tak (acuh)” terhadap investor-investor asing?
Kutipan
kalimat pada pada paragraf di atas dalam menggunakan kata “acuh” dan “tak acuh”
dimaknai terbalik/salah dari arti sebenarnya. Contoh lain juga bisa dilihat
dalam bait lagu “Kau Menolakku, acuhkan diriku” dalam Cinta Ini
Membunuhku dari grup band D’Massive. Menolak tapi mengacuhkan. Sungguh satu
kombinasi yang membingungkan. Kasus yang sama juga dimaknai keliru pada lagu
karya grup musik Slank. Pada bait kedua dari lagu Ketinggalan Jaman
(Kampungan) menyatakan, “Kau tak pernah peduli/Gak mau ambil pusing/Karena
kamu, kamu terlalu acuh, oh kasih”.
Jika
ditinjau dari aspek kebahasaan, KBBI (2008) memberikan makna leksikon “acuh”,
yakni peduli; mengindahkan. Contohnya: ia tidak (acuh) akan larangan orang
tuanya. Selain itu, Kamus Tesaurus bahasa Indonesia juga memadankan
leksikon acuh dengan kata; hirau, hisab, indah, ingat, peduli. Semua sinonim
acuh tersebut berasosiasi dengan medan makna utama, yakni “peduli”.
Kata
“acuh” pada contoh KBBI di atas: “Ia tidak (acuh) akan larangan orang tuanya”,
bermakna bahwa seseorang tidak peduli akan larangan orang tuanya. Kalimat
tersebut merupakan negasi dari kalimat aktif “Ia acuh (peduli) akan larangan orang tuanya”.
Pemaknaan
“acuh” pada kedua kalimat tersebut berlainan dengan persepsi masyarakat bahwa
“acuh” berasosiasi dengan tindakan yang negatif, yakni tindakan tidak peduli
terhadap suatu hal. Hal ini pun
mengarahkan penulis untuk mempertegas pemaknaan “acuh” dan “tak acuh” dari
kenyataan yang ada di masyarakat dengan yang tertera dalam kamus (KBBI).
Selama
ini masyarakat menganggap bahwa “acuh” bermakna “tidak peduli” dengan
representasi makna negatif. Akan tetapi, pedoman kamus (KBBI) justru
mengartikan acuh dengan makna “peduli”. Hal ini berpotensi membingungkan
penutur, khususnya dari segi penulisan karena makna yang dianggapnya ternyata
kurang sesuai dengan apa yang ada dalam kamus. Masyarakat cukup akrab dengan
kalimat berikut ini.
1)
Pemerintah
terkesan (acuh) terhadap kondisi rakyat;
2)
Pemerintah tak
(acuh) terhadap investor-investor asing.
Pemaknaan
acuh pada kalimat di atas akan dipandang berbeda oleh masyarakat. Hal ini dapat
dilihat pada kalimat 1 yang berasosiasi dengan respon masyarakat bahwa
pemerintah terkesan “(tidak) peduli” terhadap kondisi rakyat, sedangkan kalimat
2 berasosiasi dengan tindakan pemerintah yang
“(peduli)” terhadap investor-investor asing. Hal tersebut berlainan
dengan pemaknaan yang dijelaskan dalam kamus (KBBI).
Dari
contoh kasus tersebut, ada suatu keganjilan terhadap pemaknaan yang ada, khususnya
leksikon “acuh” yang ternyata dipersepsi masyarakat merupakan bentuk yang
bermakna “ketidakpedulian” padahal KBBI memberikan makna “peduli”. Hal tersebut
rentan menimbulkan problematik dalam tataran semantik (makna). Problematik
tersebut disebabkan ketidaktepatan penggunaan leksikon, khususnya leksikon acuh
yang bermakna “peduli” justru berlainan dengan pemaknaan yang dianut masyarakat,
sehingga hal ini rentan menimbulkan kekacauan makna.
Fenomena di atas
sebaiknya ditinjau ulang oleh para punggawa bahasa, Leksikon “acuh” bisa saja
mengalami perubahan makna secara total serupa dengan leksikon seni ataupun
pena. Hal tersebut dilakukan untuk mengharmoniskan fenomena kebahasaan
dengan sebuah kaidah yang dibuat (KBBI).
Mari
kita lihat gejala perubahan makna dalam bentuk seni dan pena. Bentuk
“seni” pada mulanya selalu dihubungkan dengan air seni atau kencing. Namun,
seiring perkembangan zaman, bentuk seni digunakan sepadan dengan kata
Belanda kunst atau kata Inggris art, yaitu untuk mengartikan
karya atau ciptaan yang bernilai halus, misalnya digunakan dalam frasa seni
lukis, seni tari, seni suara, dan seni ukir. Dalam kasus serupa,
bentuk pena dulu bermakna bulu, tetapi sekarang maknanya berubah
total karena pena dimaknai sebagai alat tulis yang menggunakan tinta.
Perubahan
makna tersebut dalam Semantik disebut perubahan secara total, yakni
berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya walaupun makna yang
dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi tampak
sudah jauh sekali (Sitaresmi dan Fasya, 2011: 111).
Hal
ini membuktikan bahwa bahasa bersifat dinamis dan terus mengalami perkembangan.
Menurut Chaer (2007) dalam Linguistik Umum, bahasa tidak pernah lepas
dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai
makhluk berbudaya dan bermasyarakat. Begitu pun persoalan makna “acuh” bisa
diganti dengan makna yang berbeda dan disesuaikan dengan apa yang terjadi di
masyarakat.
Untuk
itu masyarakat sebagai pengguna bahasa mampu merekatkan aturan (kodifikasi)
yang dibuat punggawa bahasa dengan kenyataan yang dipersepsi/dimaksudkan,
sehingga diharapkan akan terjadinya harmonisasi makna “acuh” atau “tak acuh” ataupun
kata lainnya disinonimkan dengan bentuk negatifnya. Semoga!
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus