Babu

 “Babu”, esai Wisata Bahasa Pikiran Rakyat, 12 Maret 2017

Babu 
oleh Iwan Ridwan
            “Mulutmu adalah harimaumu!” Lagi-lagi pepatah ini terus mengingatkan kita akan bahayanya sebuah kata. Layaknya pedang, ujaran dalam komunikasi sosial (langsung atau             di media sosial) kian menjadi sorotan. Baru-baru ini, seorang pejabat blunder dalam memilih kata. Padahal ketepatan pilihan kata menjadi salah satu cermin kesantunan suatu bangsa.       
            Tak pelak, satu kata dalam postingan itu melesat bagai panah yang menusuk hati masyarakat. Postingan twitter yang berbunyi, “Anak bangsa mengemis menjadi babu                    di negeri orang dan pekerja asing merajalela...” tengah hangat diperbincangkan. Sontak sejumlah reaksi bermunculan atas ujaran tersebut (Tempo, 25/1).
            Belum selesai persoalan pelesetan “Pancasila” jadi “Pancagila”, “Sampurasun” jadi “Campuracun”, pilihan kata “babu” menjadi persoalan yang menarik. Tampaknya, masyarakat banyak belajar dari peristiwa tersebut. Ibarat obat, efek samping dari ketidaktepatan diksi telah menimbulkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan. Mengganggu kejelasan informasi yang disampaikan. Dua hal yang tampaknya  menyelimuti kasus ini. Padahal, Badan Bahasa telah berpesan dalam buku Bentuk dan Pilihan Kata (2015) agar memilih kata yang tepat, cermat, dan serasi.
            Entahlah, persoalannya takkan seheboh sekarang  jika  diksi “babu” tidak digunakan. Diksi ini kurang nyaman didengar dan terkesan bercitra negatif. “Babu” berasosiasi dengan kata jongos, kacung, budak (Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, 2008) yang kini sudah mengalami perubahan makna ke arah yang tidak baik (peyorasi dalam ilmu makna).
            Dalam pilihan kata (diksi), kita akan memilih kata untuk menyebutkan suatu hal. Sebut saja orang yang bekerja di rumah orang lain/luar negeri tersedia kata babu, pembantu, asisten rumah tangga, penata laksana rumah tangga, tenaga kerja Indonesia. Ketika telah diputuskan untuk memilih salah satu kata, itulah hasil pilihan kata/diksi yang digunakan.  Karenanya, pilihan kata adalah hasil jerih payah memilih kata.
            Diksi “babu” entah digunakan karena kurangnya perbendaharaan kata atau untuk membuat konotasi kritik/sindiran dengan sebuah pertentangan: “babu” dan “pekerja asing”. Namun, persoalan sosial yang coba dilirik itu mengaburkan kejelasan informasi yang disampaikan. Makna postingan “Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela...” adalah seorang warga Indonesia menjadi seorang “pekerja”                  di negeri orang, sedangkan pekerja asing kian merajalela di negeri sendiri. Upaya mengejar perbandingan itu tak tersampaikan dengan diksi “babu” yang sensitif ketika diletakkan setelah predikat “mengemis” yang dilakukan oleh subjek (“Anak bangsa”). Sudah “mengemis”, “menjadi babu” pula!

            Pilihan kata “menjadi babu” sebagai objek menyiratkan makna sosial suatu profesi yang dipilih oleh seseorang. Pilihan profesi yang menyangkut martabat seseorang. Inilah yang menjadi racun dalam postingan tersebut. Akan lebih tepat, cermat, dan serasi, jika kata babu itu diganti dengan TKI atau asisten rumah tangga, serta konjungsi dan diganti sedangkan untuk memperjelas pertentangan kondisi “anak bangsa” yang bekerja di luar negeri dan kedatangan “pekerja asing” yang membludak. Karenanya mulai dari sekarang, berhati-hatilah dalam memilih kata agar ia tak berbalik mencelakai diri atau mengundang sakit hati! Waspadalah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi