Sekolah Ilalang Koli



Sekolah Ilalang Koli
            Sekolahku telah berdiri lebih dari setengah abad sejak negeriku merdeka, namun kondisi sekolahku tak seperti teman sebayaku di kota. Ilalang menjadi payungku dan teman-temanku dari panasnya sinar matahari. Sekolah kami beralaskan tanah dan hanya memakai daun koli sebagai pelindung.
Kami harus merasakan panas dan dingin ketika belajar serta keluar kelas ketika hujan tiba, karena sekolah kami seperti akan terbang bagai layangan yang putus dari talinya. Sekolahku hanya memiliki dua orang pengajar yakni pak Ali dan Bu Ani, keduanya merupakan sumber pengetahuan bagi kami karena tidak ada yang mau mengajar di pulau kami ini.
Aku tinggal di desa Tomwawan kecamatan lemola yang tergabung dalam pulau terluar dan terpencil di Indonesia. Aku tinggal bersama ayah dan ibu di sebuah rumah panggung beratap ilalang. Pemukiman kami jauh dari peradaban perkotaan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun sangat susah, ayahku harus pergi ke pusat kota untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari.
Setiap bersekolah, aku dan teman-temanku hanya memakai pakaian biasa bukan pakaian putih merah berdasi dan memakai ransel yang lengkap. Ingin sekali aku mengenakan pakaian seragam sekolah seperti teman sebayaku di perkotaan. Sempat aku bertanya pada ayahku: “Pak kenapa sekolahku tak bertembok satu bata pun? aku pun ingin memiliki bangunan sekolah yang bagus dan indah”, ucapku ketika berada dipelukan ayah ketika malam tiba. Ayah hanya menjawab: “Ya itulah nak, wakil-wakil rakyat tidak melihat kondisi kita ini, makanya kau belajar yang rajin dan jadilah orang yang bersih”.
Ayahku bekerja sebagai nelayan dan ibuku pengrajin tanaman laut, setiap hari aku belajar di kelas yang beratap ilalang dan beralaskan tanah. Akan tetapi, kondisi ini tak menyurutkan niatku untuk terus belajar meski dengan berbagai keterbatasan yang ada. Pak Ali dan Bu Ani mengajar bergantian, karena keduanya harus silih berganti mengajar di kelas yang lain. Kami sangat berterimakasih kepada pak Ali dan bu Ani yang telah rela mengorbankan hari-harinya demi mengajar kami, anak-anak keriting hitam dan ingusan.
Aku belajar banyak hal dari kedua guruku, keduanya selalu mengerjakan ilmu kehidupan yang sangat berarti bagiku dan teman-temanku. Kami menari, bernyanyi, menggambar, berhitung, dan masih banyak yang kami lakukan setiap kali belajar.
Sering aku mengeluh dan bertanya-tanya, berada di mana sebenarnya jiwa dan ragaku ini, dalam lamunanku seakan aku berbincang dengan sekolah yang terlihat menyerupai burung garuda, aku bertanya: “Hai burung, sebenarnya kita berada di negeri mana?”
“Kita berdiri di negeri dengan areal wilayah yang luas nak, jangan heran kau dan teman-teman kau ni harus belajar di tempat macam ni, kelak kau akan merasakan indahnya negeri ini jika kau berhasil”, jawab sekolah.
Aku terus bertanya-tanya kepada sekolah, sebenarnya siapa pemimpin negeriku ini, kemana larinya uang-uang yang harusnya untuk pendidikan, apakah masuk ke dalam kantung dan perutnya masing-masing?. Sekolahku pun hanya terdiam dan tak bisa menjawab pertanyaanku, kemudian dia seolah pergi terbang. Sepertinya ada yang memegang-megang tanganku, ah ternyata pak Ali membangunkanku dari lamunanku tadi. “Kamu kenapa gus?” tanya pak Ali, “Ah iya pak maaf saya ngelindur tadi”.
“Gus” adalah sebutan pak Ali kepadaku karena itu merupakan sebutan bagi anak laki-laki menurut beliau. Pak Ali dan Bu Ani adalah orang dari provinsi kami, keduanya lulusan SMA dan sangat tabah dalam memberikan pengajaran kepada kami.
Hari itu sekolah diliburkan karena desa kami akan kedatangan para pejabat tinggi, aku pun sangat antusias ingin melihat langsung bentuk wajah orang-orang perkotaan serta menyimpan segumpal harapan untuk sekolahku. Menurut ayahku mereka kesini hanya sebagai kucing dalam karung, menurut ayah masa-masa kampanye telah tiba, dan siapkanlah pendengaran kita meresapi bait demi bait kata-kata manis yang mereka lontarkan.
Aku pun hanya mengangguk karena pikirku anak kecil tak tahu apa-apa soal politik. Akhirnya mobil-mobil mewah itu pun datang,  satu per satu mereka turun, ku lihat mereka berpakaian sangat lengkap memakai dasi dan sepatu yang mengkilap. Tak lupa para calon pejabat tersebut ditemani para istri dan anak-anaknya.
Aku hanya terdiam, ketika anak salah seorang pejabat memegang suatu benda kotak tipis yang dipencet-pencet  dan menimbulkan suara musik. Aku pun menerka-nerka apa sebenarnya benda itu, aku dan teman-temanku hanya tersenyum penuh arti melihat benda itu. Dalam pikirku, benda itu seperti papan yang sering aku mainkan bersama teman-temanku.
Para pejabat itu pun menghampiri kami dan seakan merasa aneh dengan keadaan kami. Mereka disambut oleh ketua adat desa dan diberi jamuan seadanya. Ditengah orang-orang berdasi itu asyik mengobrol dengan ayah-ayah kami. Sempat aku berjabat tangan dengan salah seorang anak pejabat itu, yang ku tahu namanya Doni. Ia sangat baik dan tak segan bermain dengan kami.
            Aku merasakan begitu halusnya tangan Doni ketika berjabat tangan, berbeda dengan tanganku yang kasar dan kulitku yang hitam bagai kopi, jika kami bersanding nampak kopi susu yang berdekatan. Doni ku ajak bermain bersama teman-temanku yang lainnya.
            Tak terasa matahari mulai terbenam, dan urusan para pejabat itu nampaknya sudah selesai dan hendak bergegas pulang, Doni pun harus kembali ke daerahnya. Akhirnya, mobil-mobil mewah itu mulai meninggalkan desa kami yang jauh dari perkotaan ini. Aku bertanya kepada ayahku: “Pa, tadi bapak ngobrol apa aja?” aku pun bersiap mendengarkan dipangkuan ayah.
            “Kau ni masih kecil, ingin tahu saja urusan orang dewasa, ini ada kabar baik bagi sekolahmu, katanya orang-orang tadi akan membangun sekolah yang lebih baik daripada sekolah yang sekarang”, jawab ayah.
            Aku pun loncat dari pangkuan ayah dan sempat terjatuh ke tanah saking kagetnya mendengar ucapan ayah tadi. Aku pun terus bertanya kepada ayah, apa memang benar yang diucapkannya tadi serius, dan memang orang-orang berdasi tadi akan membuatkan sekolah yang lebih kokoh dari bangunan sekolah yang hanya beratap ilalang dan berdindingkan daun koli ini.
            Beberapa minggu sesudah kedatangan orang-orang bermobil mewah itu, ternyata benar apa yang diucapkan ayah, proyek pembangunan sekolah mulai berjalan, dan dalam waktu beberapa bulan sekolah yang kudambakan akhirnya tersaji di depan kedua mataku yang besar ini.
kini kami bisa belajar di tempat yang lebih aman dan nyaman serta takkan kedinginan lagi kala belajar bersama. Atap yang dulu terbuat dari ilalang sekarang berubah menjadi genteng dan dinding yang dulunya dari daun koli sekarang berlapis tembok yang kokoh dan tak lagi beralaskan tanah. Kini kami bisa merasakan sekolah seperti halnya anak-anak yang sebaya dengan kami di perkotaan. Secara bergantian, hibah pakaian sekolah datang menghampiri kami serta fasilitas mulai dari buku-buku, kursi dan meja sekolah. Kami seperti mendapat durian runtuh yang aromanya sedap ketika dihirup. Sebelum aku pindah ke sekolah yang baru, aku sempat berpamitan kepada sekolahku yang lama.
Dalam lamunanku, datang kembali burung garuda yang dulu mendatangiku. Ia seolah tersenyum mengucapkan selamat sambil mengedipkan mata kanannya dan kembali terbang ke langit biru nan luas. Aku terus melambaikan tanganku kepada burung garuda itu. Akhirnya sekolahku telah berubah bagai kepompong yang berfotosintesis menjadi kupu-kupu. Semoga kami bisa terbang indah, mengangkat nama baik desa dan provinsi untuk menjadi lebih baik dari kondisi sekarang. Pak Ali dan Bu Ani sekarang tak berdua lagi, karena kami kedatangan para guru baru yang siap mengajarkan wahana ilmu yang masih luas lainnya, sungguh keajaiban yang luar biasa yang aku alami dalam masa kecilku ini. 
*Tulisan ini disertakan dalam lomba cerpen hardiknas pada blog dianfitria04.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi