Harta yang Paling Berharga Adalah Keluarga: Pendidik Berkualitas di Era Milenial

            Harta yang Paling Berharga Adalah Keluarga:  Pendidik Berkualitas di Era Milenial
                                                             oleh Iwan Ridwan

                                                                                               Sumber gambar: wholemediation.com

“Kak, tolong jelaskan sistem reproduksi manusia dong”, tanya salah seorang anak kelas 6 SD ketika pembelajaran di kelas. Seketika, teman-teman sekelasnya hening. Seolah-olah mereka juga begitu penasaran dengan hal yang masih tabu itu. Padahal, saya adalah seorang mentor pelajaran Bahasa Indonesia. Sontak, saya terkaget-kaget, tujuannya untuk apa dan mengapa mereka begitu antusias dengan salah satu topik ilmu Biologi tersebut. Usut-punya usut, naluri keingintahuan mereka itu  muncul setelah mereka menonton film Anime yang sejatinya tidak cocok untuk anak seusianya.
Di lain kesempatan, saya menanyakan hobi mereka masing-masing. Jawabannya bervariasi. Ada yang mengaku hobi membaca, berenang, dan berolahraga. Ada pula yang keranjingan ‘terlalu suka’ bermain game sehingga menghobikan game sebagai pengisi waktu luang terbaiknya. Tampaknya, anak-anak zaman sekarang (istilah populernya kids zaman now) begitu terpesona dengan kehadiran gim canggih dan mutakhir. Sebut saja gim Mobile Legends: Bang Bang, yang kini tengah merajai permainan online di Indonesia. Permainan ini pun masuk dalam radar Sahabat Keluarga Kemdikbud sebagai salah satu dari 16 permainan yang dianggap berbahaya bagi anak-anak Indonesia (http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=2499).
Dari kedua ilustrasi tersebut, setidaknya ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan komunikasi (IPTEK)          di era modern ini perlu disikapi secara bijak. Kedua, peran orang tua masih perlu diperbaiki. Kedua tantangan ini menjadi salah satu kunci untuk bagaimana menyiasati era globalisasi dapat diawasi bersama kemajuannya oleh orang tua sebagai pendidik utama dan pertama dalam keluarga.
Jangan sampai anak kita seolah kehilangan figur yang harus ia contoh layaknya mencari air di gurun yang gersang. Orang tua lebih tertantang untuk sibuk dengan urusan pekerjaannya, bukan sibuk untuk mengurusi dinamika kehidupan anak yang menawan (Matropih, 2011: 3). Akibatnya, acapkali anak terguncang jiwanya dalam membedakan perbuatan baik dan buruk dalam lingkungan kehidupannya.  

Sumber: http://gurumatiksma.blogspot.com/2016/07/keluarga-sebagai-tempat-pendidikan.html
                                                        
Pendidik Berkualitas
Kasus kekerasan terhadap sesama dalam tawuran pelajar, perilaku “bolos sekolah”, akses bebas “pornografi” yang masih terjadi membuktikan betapa rapuhnya fondasi pendidikan keluarga dalam kehidupan global saat ini. Sebagai unit terkecil, pendidikan keluarga dalam tatanan sosial merupakan arena pertama seorang anak dalam memulai kehidupannya (sosialisasi primer). Sebuah keluarga (nuclear family) terbentuk atas suatu hubungan erat antara ayah, ibu, dan anak yang bersifat eksklusif (diikat oleh ikatan yang bersifat biologis atau keturunan). 
Pada  masyarakat  tradisonal,  keluarga  memegang  peran utama  dalam  menyiapkan generasi  bangsa  untuk  menjadi  manusia  mandiri.  Orang  tua mengasuh  dan  membimbing  anak  dalam  berbagai  bidang kehidupan,  melatih  berbagai  keterampilan  dan  tradisi. Namun, tugas itu dalam pola pikir orang tua modern tampak bergeser untuk diserahkan begitu saja kepada lembaga pendidikan tanpa partisipasi yang aktif. Hal ini semakin memangkas kegiatan pengasuhan dasar dan kerja sama dengan lembaga pendidikan dalam mengawasi pendidikan anak (Raharjo, 2010: 11).
Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa sosialiasi antara orang tua dan anak  merupakan wujud transfer nilai-nilai kehidupan yang penting dalam pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan orang tua. Pada umumnya, mereka terpanggil (secara naluriah) untuk membimbing dan mengarahkan, pengendali dan pembimbing (direction control and guidance), konservatif (mewariskan dan mempertahankan cita-citanya), dan progresif (membekali dan mengembangkan pengetahuan nilai dan keterampilan anak sehingga mampu menghadapi tantangan hidup di masa depan) (Junaedi dan Bisri, 2009: 13).
Pendidikan keluarga berkompeten dalam memenuhi kebutuhan fisik dan psikis anak pada proses pertumbuhan hingga mencapai kedewasaan. Oleh sebab itu, orang tua dituntut untuk menjalankan fungsi sebagai pendidik dan teladan yang baik bagi anak, dengan berprinsip bahwa setiap anak mempunyai hak-hak yang harus direalisasikan dengan sebaik-baiknya demi masa depan yang gemilang (Al-Hamshy, 2003: 11).
Immanual Kant menyatakan bahwa “manusia menjadi manusia karena pendidikan” dan intisari pendidikan adalah “pemanusiaan manusia muda yang pada dasarnya bersumber dari pendidikan keluarga’ (Driyarkara, 1992: 78). Atas dasar itu, pendidikan dalam keluarga merupakan fungsi dari lembaga keluarga. Aktivitas pendidikan keluarga meliputi  keyakinan agama, nilai moral, nilai budaya, dan aspek kehidupan kerumahtanggaan. Proses  pendidikannya akan berlangsung dengan panutan, pengajaran, dan pembinaan yang sesuai dengan kondisi masing-masing keluarga (Hufad,  2012: 12).
Visi Sistem Among
            Upaya untuk membangun generasi emas Indonesia yang berkarakter dan berdaya saing tinggi perlu ditunjang dengan elemen-elemen ekosistem pendidikan. Elemen-elemen tersebut meliputi sekolah kondusif, guru penyemangat, orangtua terlibat, warga peduli, industri suportif, organisasi profesi suportif, pemerintah suportif (Kemdikbud, 2015).
            Dari ketujuh elemen di atas, elemen “orang tua terlibat” menjadi isu yang berkaitan dengan pendidikan keluarga. “Orang tua terlibat” senada  dengan skema Sistem Among Ki Hajar Dewantara. Keluarga sebagai salah satu dari trisentra pendidikan adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama. Kinerja akademik anak di sekolah pun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar sekolah, utamanya di rumah (Baswedan, 2014).
Orang tua, sebagai guru pertama bagi anak, hendaknya memberikan keteladanan kepada anak. Hal ini sudah sejak dulu ditasbihkan oleh pemikir ulung dunia pendidikan kita, yakni Ki Hajar Dewantara melalui Sistem Among yang diusungnya. Konsep sistem pendidikan ini mencakup prinsip bahwa anak dipandang sebagai subjek yang memiliki posisi penting; anak memiliki kebebasan sesuai dengan kodratnya; tidak boleh ada paksaan atau hukuman dalam proses pembelajaran; pembelajaran dilakukan dalam suasana yang menyenangkan; orang tua harus menghargai apapun yang dikerjakan anak; belajar dimaksudkan untuk menanamkan karakter yang baik (Subandiyah, 2012: 3).
Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dalam pendidikan keluarga di era global. Hal ini sejalan dengan salah satu Rencana Strategis Kemdikbud pada RPJPN 2005-2025, yakni persoalan “jati diri dan karakter bangsa”. Penguatan jati diri dan karakter bangsa melalui Sistem Among akan menopang nawacita pemerintahan Jokowi-JK yang ingin melakukan revolusi karakter bangsa dan memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia (Kemdikbud, 2015).
            Sistem Among mempertimbangkan kegiatan apa saja yang harus dilakukan oleh anak-anak. Proses pendidikan keluarga ini dirancang untuk menyesuaikan sifat anak melalui nontoni (amati), niteni  (menghafal, mengingat kembali), dan nirokak (meniru). Melalui tiga tahap tersebut diharapkan pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan menyenangkan. Selain itu, kualitas transfer pengetahuan dan nilai (transfer of knowledge and values) dapat tersalurkan, baik ketika memahami lingkungan, menyelesaikan tugas perkembangan, membentuk perilaku dan kepribadian, maupun ketika membentuk karakternya. Karakter inilah yang akan menentukan kualitas anak-anak di masa depannya. Dengan cara inilah harapan kemajuan bangsa di arena pertarungan global akan terwujud tatkala generasi emas Indonesia berjati diri sesuai akar budayanya dalam merawat kemerdekaan bangsanya.
Masa Depan Gemilang        
            Dengan menggali kembali pemikiran dan semangat Ki Hajar Dewantara dalam “Sistem Among” diharapkan mampu menggelorakkan kembali pendidikan keluarga yang berkualitas demi terciptanya masa depan bangsa yang cemerlang.
            Ada fakta menarik dengan marwah pendidikan di Indonesia. Indonesia menempati urutan ke 69 pada pemeringkatan PISA pada 2014. Poisisi ini turun empat peringkat setelah sebelumnya kita menempati peringkat 65 di tahun 2012. Sementara dari akses dan mutu pendidikan, kita masih harus berlari dari urutan buncit, yakni poisisi 40 dari 40 negara pada pemetaan The Learning Curve-Pearson pada 2013-2014 (Coughlan, 2015).
            Dari fakta tersebut terlihat masih ada bopeng dalam pendidikan kita. Salah satu indikatornya adalah pendidikan belum menjadi prioritas utama bangsa ini. Padahal dampak sistemik dari fondasi pendidikan mampu menurunkan tingkat pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Hal ini terlihat dari data dampak investasi bidang pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara Asia (PDB) dari 1980-2012. Dari data tersebut, Korea Selatan menempati urutan pertama sebagai negara terprogresif dengan nilai USD 30. 722, sedangkan Indonesia menempati urutan keempat dengan nilai USD 4. 949.
            Keberhasilan Korea Selatan, Jepang, ataupun Finlandia dalam pendidikan tidak terlepas dari keselarasan yang memadukan insting alamiah anak dan menciptakan tatanan pendidikan yang menyenangkan.  Ironisnya, negara-negara tersebut telah menerapkan konsep “Sistem Among” yang sejak lama ditulis oleh Ki Hajar Dewantara. Namun, kita sebagai generasi penerusnya membuang pemikirannya begitgu saja.
            Jika Finlandia memiliki closed loop systemyang mendukung lifelong learning, Korea Selatan dengan reformasi “pemangkasan jam ‘hagwon’ (bimbel)”-nya, Jepang dengan orientasi intelektualitasnya, ataupun Tiongkok dengan reformasi “Evaluasi Hijau” dengan mengurangi beban akademik demi menjaga kesehatan jiwa dan raga pada generasinya, kita memiliki “Sistem Among” yang tercipta dari tinta emas Ki Hajar Dewantara yang nilai-nilainya selaras dengan kontur pendidikan Indonesia.
            Ketiga prinsip dalam “Sistem Among” (nontoni, niteni, nirokaken) dapat diterapkan dalam mendukung program pendidikan keluarga dalam meningkatkan mutu pendidikan kita, bahkan daya saing bangsa di kancah global. Saat ini Indonesia masih menempati posisi ke-34 dalam Global Competitiveness Report (GCR) pada 2014--2015. Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (peringkat ke-20), bahkan Thailand (peringkat ke-31) (Kemristekdikti, 2015).
            Oleh karena itu, membangun generasi emas Indonesia dapat dimulai dengan kontribusi nyata pendidikan keluarga. Bangsa kita akan mampu berakselerasi menjadi bangsa yang besar sebagaimana cita-cita kemerdekaan para founding fathers pada 73 tahun silam. Asalkan semua komponen, mulai dari keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan semua komponen pendidikan lainnya dapat menjalin sinergi yang kuat demi meningkatkan mutu pendidikan Indonesia yang berkualitas dengan menjadi teladan bagi generasi emas sebagaimana “Sistem Among” Ki Hajar Dewantara tasbihkan. Percayalah!
#sahabatkeluarga
Tema Perlombaan “Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian”

                                                  Sumber: Kanal Sahabat Keluarga Kemdikbud


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi