Contoh Makalah Gagasan Konseptual (Filsafat Budaya)
*Teknis tulisan menyesuaikan dengan karakter blog (untuk Ms. Word tentu lebih rapih)
TRANSFORMASI KAYU DALAM MASYARAKAT KARIMUNJAWA,
KABUPATEN
JEPARA, JAWA TENGAH
MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Budaya
Dosen pengampu: Dr. Tedi Permadi, M.Hum.
oleh
Iwan Ridwan
NIM 1306979
PROGRAM STUDI BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Budaya. Makalah ini merupakan studi analisis terhadap transformasi dari wujud
kebudayaan di suatu lingkungan masyarakat untuk melihat bagaimana pola tradisi,
transmisi, dan transformasinya saat ini. Makalah ini menggunakan metode deskriptif
dan studi pustaka. Artinya, data yang diperoleh dideskripsikan berdasarkan fenomena
yang ada.
Dalam makalah ini disajikan persoalan transformasi salah
satu wujud kebudayaan berupa benda/material, yakni “kayu” yang
ditransformasikan oleh masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Dalam praktiknya, kayu oleh masyarakat Karimunjawa ditransformasikan ke
berbagai cendera mata seperti gelang, gantungan kunci, tasbih, kalung, pipa
rokok, hingga tongkat. Oleh karena itu, fenomena kebudayaan tersebut sangat
penting untuk dikaji dan dieksplorasi sehingga kebudayaan lokal dapat
memperkuat kebudayaan nasional.
Dalam penyusunan makalah
ini ditemukan berbagai tantangan dan hambatan. Namun, karena bantuan dari
berbagai pihak, tantangan dan hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena
itu, diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan
maupun materi. Oleh karena itu, kritik dari pembaca sangat diharapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Amin.
Bandung, 12 November 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR
ISI...........................................................................................................iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................................3
D. Manfaat...................................................................................................................3
BAB
II LANDASAN TEORI................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................6
BAB
IV SIMPULAN............................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................. ..........12
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagai
kawasan wisata, Kepulauan Karimunjawa tidak hanya digemari oleh wisatawan
lokal, tetapi juga oleh wisatawan mancanegara. Hal ini tak terlepas dari
keindahan dan keanekaragaman biota lautnya yang menakjubkan. Selain itu,
kawasan yang memiliki 27 pulau ini menyimpan berbagai keunikan dan khazanah
kebudayaan yang tersebar di sekitar Kepulauan Karimunjawa.
Kepulauan
yang terletak di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ini memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Mulai dari pohon mangrove yang menjadi pusat studi mangrove dunia,
hingga taman nasional yang menambah keindahan kepulauan yang berpenduduk 10.000
orang ini.
Masyarakat
di Kepulauan Karimunjawa mayoritas berkecimpung sebagai nelayan. Namun, dalam
beberapa dekade terakhir; muncul para pengrajin kayu yang sekarang mendulang
hasil dari aktivitasnya. Kayu yang terkenal di kepulauan ini yaitu kayu
Dewadaru, Kalimasada, dan Setigi. Ketiga kayu ini dijadikan bahan baku utama
dalam produksi kerajinannya.
Harian Kompas (9/11) mewartakan, kerajinan
kayu di Karimunjawa berkembang hampir bersamaan dengan pariwisata di kepulauan
itu. Dari pernyataan Martoyo, salah seorang pengrajin kayu di Karimunjawa,
sekitar tahun 1970 sejumlah warga Karimunjawa mengadakan musyawarah untuk membahas pengembangan pariwisata di
daerahnya. “Waktu itu kami sepakat kalau pariwisata berkembang, penduduk di
sini jangan hanya jadi penonton”, kata Martoyo (dalam Firdaus, 2015).
Pernyataan Martoyo di atas
mengindikasikan semangat kolektivitas dari masyarakat Karimunjawa untuk
mengembangkan potensi daerahnya. Salah satunya dengan pengembangan kerajinan
kayu yang dibangun sejak pertemuan itu. Sehingga, terciptalah transformasi kayu
berupa cincin, pipa rokok, dan tongkat. Lama kelamaan, kerajinan itu terus
berkembang dan menghasilkan produk yang lebih beragam.
Sebagai wujud kebudayaan, kayu
(benda) dewadaru, kalimasada, dan stigi dipersepsi oleh masyarakat Karimunjawa
memiliki tuah atau keramat; terutama kayu dewadaru. Hal ini tak terlepas dari
cerita yang berkembang bahwa asal mula kayu itu berasal dari tongkat Sunan
Muria yang dibawa oleh Amir Hasan dan ditancapkan di daerah bernama kremen-kremen
(samar-samar), yang kini dikenal dengan Karimunjawa.
Berdasarkan hal tersebut, kayu yang menjadi
salah satu wujud kebudayaan telah dijadikan tradisi oleh masyarakat Karimunjawa
secara turun-temurun. Hal ini juga menggambarkan adanya proses transmisi dari
awalnya pohon dijadikan kayu sehingga bertransformasi ke dalam berbagai cendera
mata untuk penunjang pariwisata di Kepulauan Jawa. Hal inilah yang dapat
dijadikan contoh untuk seluruh daerah wisata di Indonesia.
Atas dasar tersebut, makalah
ini akan memfokuskan kajian pada transformasi kayu yang dikembangkan oleh
masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ditengah arus globalisasi
saat ini. Transformasi tersebut tentu melibatkan sebuah tradisi dan transmisi
yang juga menopang aktivitas hidup masyarakat Karimunjawa itu sendiri. Oleh
karena itu, diharapkan makalah ini mampu memberikan inspirasi untuk semua
kalangan agar lebih peka terhadap potensi alam Indonesia dan menjaga kearifan
lokal yang terdapat di dalamnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
(1)
bagaimana tradisi kayu pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah?
(2)
bagaimana proses transmisi kayu yang terjadi pada
masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara,
Jawa Tengah?
(3) bagaimana
transformasi yang dilakukan masyarakat Karimunjawa dalam memandang kayu sebagai
sebuah tradisi lokal?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
(1) untuk mengetahui bagaimana tradisi kayu pada masyarakat
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah;
(2) untuk mengetahui bagaimana proses transmisi kayu yang terjadi pada masyarakat
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah;
(3) untuk menggambarkan bagaimana transformasi kayu sebagai
basis industri kreatif pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat
yang dapat dipetik dalam makalah ini adalah menanamkan pentingnya pelestarian kebudayaan lokal, khususnya berupa benda.
Kesadaran itu penting untuk dibangun mengingat pentingnya pemertahanan
kebudayaan lokal karena tersimpan mutiara kehidupan di dalamnya. Selain itu, kajian
tentang transformasi kayu ini diharapkan mampu membangkitkan sikap dan perilaku
kreatif pada masyarakat untuk tetap memegang teguh identitas bangsa yang
tecermin dari kekayaan alam dan kekhasan etniknya. Selanjutnya, muara dalam
makalah ini diharapkan mampu menunjukkan suatu pola kebudayaan yang dimulai
dari suatu tradisi, kemudian proses transmisi hingga bertansformasi menjadi
produk kebudayaan yang unggul dan berdaya saing tinggi.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A. Landasan Teori
Menurut KBBI (2008), tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Taum (2011) mengatakan
bahwa tradisi merupakan manifestasi dari pandangan kolektif masyarakat yang
menjadi adat istiadat dan dilakukan secara turun-temurun. Maka, tradisi dapat
dimaknai sebagai suatu kegiatan masyarakat yang menjalankan sebuah kebiasaan yang dipercayai dan telah diwariskan
dari generasi ke generasi dan tetap dilaksanakan hingga saat ini.
Berdasarkan hal itu, dari perkembangannya suatu tradisi
masyarakat akan mengalami suatu proses pewarisan atau transmisi. Transmisi
adalah pengiriman (penerusan) pesan dari
seseorang kepada orang (benda) lain (KBBI, 2008). Dalam teori moral socialization Hoffman
(dalam Hakam, 2007), transmisi diartikan sebagai pemindahan norma dan nilai-nilai dari masyarakat kepada generasi
berikutnya agar memahami nilai dan norma yang terdapat dalam budaya masyarakat.
Durachman, dkk (2006) mendefinsikan transmisi sebagai proses pewarisan dan
penciptaan suatu tradisi yang ada sejak dahulu untuk kemudian diteruskan, baik
itu secara lisan maupun tertulis. Proses pewarisan itu sendiri berjalan secara
vertikal dan horizontal dengan proses penciptaannya yang terstruktur ataupun
secara spontan (Hutomo, 1991: 74).
Transmisi yang terjadi akan menimbulkan suatu
perbedaan dari generasi yang diwariskan. Perbedaan itu bisa berupa perbedaan
cerita (dalam sastra lisan) ataupun isi dari tulisan (dalam naskah), maupun
perwujudan dari tradisi yang diwariskan (ide, benda, dan aktivitas). Sehingga,
proses transformasi itu akan berkaitan erat dengan konteks zaman berlangsungnya
tradisi dan transmisi dari suatu wujud kebudayaan.
Menurut Kuntowijoyo (2006: 56),
transformasi adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia.
Transformasi merupakan usaha yang dilakukan untuk melestarikan budaya lokal
agar budaya lokal tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Sementara
itu, Yunus (2013: 70) mengatakan bahwa transformasi merupakan perpindahan atau
pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang
terkandung di dalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami
perubahan. Kerangka transformasi budaya adalah struktur dan kultur. Dengan
adanya transformasi, masyarakat dapat mengetahui nilai-nilai yang menjadi acuan
dalam hidup agar mereka dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada tanpa
melupakan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam budaya lokalnya (Yunus, 2013:
70).
BAB III
PEMBAHASAN
Data Badan Statistik Jepara menunjukkan, jumlah penduduk
di Kecamatan Jepara diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan. Jumlah
penduduk yang tercatat pada tahun 2015 yakni 88,245 jiwa. Angka ini diproyeksi
meningkat pesat pada tahun 2020 mendatang, yakni sekitar 96,964 jiwa
(Jepara.bps.go.id). Hal ini akan
menjadi tantangan tersendiri ketika sektor pariwisata di Kepulauan Karimunjawa
akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Qomarudin
(2013) mengatakan bahwa secara sosiologis masyarakat Kepulauan Karimunjawa
heterogen, terbentuk oleh kebutuhan akan pengembangan kehidupan dan hajat hidup
sosial ekonomi. Kegiatan wisata akan menyebabkan
berkembangnya pergaulan, interaksi dan proses-proses sosial masyarakat
Jawa, Bugis
dan Madura, yang membawa nilai-nilai sosial-budaya kelompok masyarakat.
Pengembangan
kawasan yang dilakukan pemerintah sedikit banyak mengubah aktivitas masyarakat di sekitarnya. Kondisi yang ada di Karimunjawa sangat berperan
pada perilaku sosial yang ada dalam masyarakat. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan
wisata, masyarakat Karimunjawa sebagian besar adalah nelayan yang mengandalkan
mata pencahariannya, yakni mencari ikan. Namun, seiring perkembangannya, sebagian
masyarakat sudah beralih mata pencaharian ke dalam bidang jasa yang menunjang adanya
kawasan wisata seperti membuat penginapan, menyediakan sewa kapal dan alat menyelam,
warung makan dan cinderamata khas Karimunjawa yang dibuat dari kayu Setigi,
Dewadaru dan Kalimasada, sebagian juga ada yang masih berhubungan dengan
perikanan seperti ikan asin yang dijual sebagai oleh-oleh serta ikan bakar yang
dijual ketika malam hari (Nurhidayati, dkk, 2009: 5-6).
Pendapatan Karimunjawa untuk negara berasal dari tiket masuk,
wisata selam, homestay dan sumber lain yang
termasuk ke dalam PNBP mencapai Rp. 21.510.000 pada tahun 2009, pendapatan ini naik dari Rp. 12.422.500 pada tahun 2008 (Susetiono dalam Qomarudin, 2013).
Salah satu sektor yang bersumbangsih dalam pendapatan
itu adalah sektor cinderamata khas Karimunjawa, yakni produksi kayu yang kini
bertransformasi ke dalam berbagai jenis bentuk seperti gelang, kalung, cincin.
Ada tiga jenis kayu utama yang dipersepsi menyimpan nilai-nilai budaya luhur pada
masyarakat Karimunjawa. Ketiga kayu itu adalah
Dewadaru (Fragraea Elliptica) yang
terdapat pada hutan hujan dataran rendah, Setigi (Pemphis Acidula),
serta Kalimasada (Cordia Subcordata) yang terdapat di hutan pantai. Berikut
ini merupakan visualisasi dari ketiga kayu tersebut.
kayu Dewadaru kayu Kalimasada kayu Stigi
Abdillah (2014) mengatakan
bahwa sejak zaman kerajaan jenis kayu bertuah sudah banyak dimanfaatkan untuk
warangka, gagang tosan aji, maupun piranti mistik. Pengobatan herbal, medis
maupun non-medis dari warisan sumber sesepuh atau orang tua dulu juga banyak
memanfaatkan bagian-bagian pohon kayu bertuah, dari daun, batang, akar, blendhok,
pelet, galih, bahkan hama ulat pada pohon tersebut.
Sejalan dengan hal itu, terdapat beberapa fungsi
spesifik dari tradisi kayu yang ada pada masyarakat Karimunjawa dalam
mempersepsi material/benda “kayu” sebagai wujud kebudayaan. Abdillah (2014)
memaparkan fungsi dan khasiat dari ketiga kayu yang menjadi tradisi pada masyarakat
di Karimunjawa dari hasil wawancara dengan masyarakat di sana. Pemaparannya
akan disajikan di bawah ini.
1) Kayu Dewadaru
Kayu ini dipercaya
penduduk setempat berfungsi untuk mengusir atau membersihkan tempat-tempat yang
diyakini ditempati jin-jin jahat. Selain itu, kayu ini bisa menyembuhkan segala
macam penyakit dengan cara dimasukkan ke dalam air putih dan diminum dengan
mengucapkan basmalah dan selawat dan dapat dijadikan senjata untuk mengalahkan
musuh (dalam arti positif).
2) Kayu Kalimasada
Kayu ini jika dibawa kemana-mana dipersepsi dapat membawa
kewibawaan dan disegani orang lain.
Selain itu, kayu ini juga dapat mendatangkan kesenangan dari orang lain.
3) Kayu Setigi
Kayu ini dipersepsi dapat mengobati
gigitan atau sengatan hewan-hewan berbisa.
Karimunjawa dalam menyikapi wujud kebudayaan benda dan
gagasan yang terwujud dari kayu (material) dan cerita tuah akan benda tersebut
(gagasan). Hasil dari kedua hal itu diwujudkan melalui aktivitas pengrajin
kayu, yang juga merupakan salah satu wujud kebudayaan. Artinya, kayu sebagai
tradisi masyarakat Karimunjawa tidak hanya berwujud benda, tetapi juga
melibatkan ide (gagasan) dan aktivitas. Hal ini juga tak lepas dari
perkembangan budaya dan sosial masyarakat di Kepulauan Karimunjawa itu sendiri.
Jika divisualisasikan, arah tradisi kayu pada masyarakat Karimunjawa tergambar
seperti berikut.
Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa kayu sebagai
wujud kebudayaan benda tak terlepas dari wujud kebudayaan lainnya (ide dan
aktivitas). Hadirnya sebuah benda/material dalam kehidupan masyarakat
Karimunjawa tak lepas dari dasar adanya suatu gagasan di balik benda tersebut.
Hal ini terlihat dari kepercayaan masyarakat Karimunjawa yang memandang kayu
sebagai bagian yang penting dalam hidupnya. Dari akar sejarahnya, kayu
merupakan turunan dari tongkat seorang penyebar agama Islam (Sunan Muria) dan
hingga kini kepercayaan tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat
Karimunjawa.
Dari gagasan itu, terdapat pengembangan dari tradisi
yang telah berlangsung di masyarakat Karimunjawa berupa proses transmisi dari
suatu ke generasi ke generasi selanjutnya. Proses transmisi tersebut terlihat
dari pelatihan para pengrajin kayu yang terjadi secara vertikal (dari orang tua
ke anak) dan horizontal (sesama anggota masyarakat). Adapun dari wujud
kepercayaan (gagasan) berlangsung secara lisan, dari mulut ke mulut.
Setelah suatu tradisi bertansmisi, maka tradisi itu
lama-kelamaan akan mengalami sebuah transformasi, baik itu sebagian maupun
menyeluruh. Palupi (2007: 6) mengatakan
bahwa suatu tradisi dari generasi ke
generasi selalu terjadi perubahan-perubahan, sehingga tradisi tidak mungkin
dapat dilestarikan sepenuhnya. Kedua proses itu menyebabkan adanya perubahan
interpretasi dari masyarakat terhadap tradisi yang akhirnya hubungan yang dihasilkan dari suatu rantai generasi,
sehingga kualitasnya akan tetap sama.
Sebagai salah satu kearifan lokal, tradisi kayu di
Kepulauan Karimunjawa amat penting untuk dijaga kelestariannya. Hal ini sangat
berguna tidak hanya pada aspek pariwisata, tetapi juga aspek pembangunan
manusia yang peka akan kebudayaannya sendiri. Sejak abad ke-19, daerah Jepara telah dikenal luas sebagai daerah yang
memproduksi mebel dan ukiran yang terkemuka di Indonesia, terbukti dengan
adanya apresiasi dari beberapa kalangan yang menyatakan
Jepara sebagai kawasan terpadu untuk mebel dan ukiran. Di Jepara, kegiatan
pembuatan mebel dan ukiran telah menjadi bagian dari budaya, seni,
ekonomi, sosial dan politik yang sudah mendarah daging, sehingga sukar dipisahkan dari sejarah awalnya (Nangoy dan Sofiana, 2013).
Seperti
yang diketahui, potensi alam dan kekayaan tradisi yang dimiliki berpotensi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar Karimunjawa, tak terkecuali
masyarakat Jepara (Farida, 2013). Namun, ada kekhawatiran tatkala tradisi yang
telah berlangsung dimasuki unsur politis dan sikap eksploitatif yang justru
tidak menguntungkan. Tak pelak, perubahan sosial dan peran masyarakat semakin mengubah
pola hidup kebersamaan menjadi matrealisme dan individualistik (Qomarudin,
2013).
Oleh
karena itu, perlu adanya kesadaran sikap yang
membangun pelestarian tumbuhan-tumbuhan guna meningkatkan perekonomian
masyarakat setempat. Dengan demikian, transmformasi kayu yang dihasilkan oleh
masyarakat Karimunjawa seperti kalung, gelang, tasbih, tongkat, dan sebagainya
akan tetap berjalan harmonis asalkan masyarakat masih memelihara alam,
kebudayaan, dan kearifan lokalnya.
BAB IV
SIMPULAN
A. Simpulan
Tradisi kayu masyarakat Karimunjawa tak terlepas dari
akar sejarah hadirnya “kayu bertuah” sebagai wujud kebudayaan yang berasal dari
gagasan, yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Karimunjawa. Sebagai
tradisi, kayu telah melekat dengan kehidupan masyarakat Karimunjawa, Jepara,
Jawa Tengah.
Adapun proses transmisi dari kayu tersebut berlangsung
secara lisan, dari mulut ke mulut (dalam hal gagasan). Selain itu, transmisi
itu berlangsung melalui pelatihan yang didapatkan secara vertikal dan
horizontal dari aktivitas para pengrajin
kayu pada masyarakat Karimunjawa.
Tradisi dan transmisi tersebut nyatanya telah
bertansformasi ke berbagai aneka kerajinaan seperti gelang, gantungan kunci,
pipa rokok, tongkat. Semua cindera mata tersebut sangat potensial untuk terus
mengalami perkembangan. Sehingga, potensi wisata beserta keanekaragam budaya di
Kepulauan Karimunjawa dapat menunjang kesejahteraan masyarakat dan memperkuat
perekonomian lokal dan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdillah, M.S. (2014). Fungsi dan khasiat kayu setigi dan dewadaru. [daring].
Tersedia:
http://shofighter.blogspot.com/2014/12/fungsi-dan-khasiat-kayu-setigi-dewadaru.html. Diakses pada 11 November 2015.
Badan Pusat Statistik Daerah. (2015). Statistik Penduduk
Jepara. [daring].
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia
edisi keempat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Durachman,
M., dkk. (2006). Cerita si Kabayan: Transformasi, Proses
Penciptaan,
Makna, dan Fungsi. Bandung
: UPI.
Farida, N. (2013). “Pengaruh kualitas layanan, fasilitas wisata, promosi
terhadap
citra destinasi dan niat
berperilaku pada obyek wisata karimunjawa kabupaten jepara”. Jurnal
Graduasi, 31 (1), hlm. 80-90
Firdaus, H. (2015). “Tuah kayu dari Karimunjawa”. Kompas, 9
November, hlm.
26.
Hakam, A.K. (2007). Bunga rampai pendidikan
nilai. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan: pengantar studi
sastra
lisan. Surabaya:
HISKI Jawa Timur.
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat
(Edisi Paripurna). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Nangoy, O.M. dan Sofiana, Y. (2013). “Sejarah mebel ukir jepara”. Jurnal
Humaniora,
14 (1), hlm. 257-264.
Nurhidayati, dkk. (2009). “Etnhobotanical and plant profile studies at
karimunjawa village of jepara
regency, central java” The Journal for Technology and science, 20 (1),
hlm. 1-10.
Palupi,
N. (2007). “Arsitektur
dalam kehidupan sehari-hari: Modernitas vs
tradisi”. Jurnal Arsitektur, 1
(2), hlm.5-9.
Qomarudin. (2013). “Perubahan sosial dan peran masyarakat dalam
pengembangan kawasan wisata
kepulauan karimunjawa”. Journal of Educational Social Studies, 2 (1),
hlm. 41-46.
Taum, Y. Y.
(2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan pendekatan
disertai contoh penerapannya. Yogyakarta:
Lamalera.
Yunus, R. (2013). “Transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya
pembangunan karakter bangsa (Penelitian
studi kasus budaya huyula di kota gorontala)”. Jurnal Penelitian Pendidikan,
14 (1), hlm. 65-77.
Komentar
Posting Komentar