Contoh Makalah Gagasan Konseptual (Filsafat Budaya)

*Teknis tulisan menyesuaikan dengan karakter blog (untuk Ms. Word tentu lebih rapih)


TRANSFORMASI KAYU DALAM MASYARAKAT KARIMUNJAWA, 
KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Budaya
Dosen pengampu: Dr. Tedi Permadi, M.Hum.

oleh
Iwan Ridwan
NIM 1306979






PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena  dengan rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Budaya. Makalah ini merupakan studi analisis terhadap transformasi dari wujud kebudayaan di suatu lingkungan masyarakat untuk melihat bagaimana pola tradisi, transmisi, dan transformasinya saat ini. Makalah ini menggunakan metode deskriptif dan studi pustaka. Artinya, data yang diperoleh dideskripsikan berdasarkan fenomena yang ada.
Dalam makalah ini disajikan persoalan transformasi salah satu wujud kebudayaan berupa benda/material, yakni “kayu” yang ditransformasikan oleh masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dalam praktiknya, kayu oleh masyarakat Karimunjawa ditransformasikan ke berbagai cendera mata seperti gelang, gantungan kunci, tasbih, kalung, pipa rokok, hingga tongkat. Oleh karena itu, fenomena kebudayaan tersebut sangat penting untuk dikaji dan dieksplorasi sehingga kebudayaan lokal dapat memperkuat kebudayaan nasional.
Dalam penyusunan makalah ini ditemukan berbagai tantangan dan hambatan. Namun, karena bantuan dari berbagai pihak, tantangan dan hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan maupun materi. Oleh karena itu, kritik dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Amin.            
                                                                         Bandung, 12 November 2015

Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................................1           
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................2
C.    Tujuan.....................................................................................................................3
D.    Manfaat...................................................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................6
BAB IV SIMPULAN............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ..........12         









BAB I
                         PENDAHULUAN                           
A. Latar Belakang
            Sebagai kawasan wisata, Kepulauan Karimunjawa tidak hanya digemari oleh wisatawan lokal, tetapi juga oleh wisatawan mancanegara. Hal ini tak terlepas dari keindahan dan keanekaragaman biota lautnya yang menakjubkan. Selain itu, kawasan yang memiliki 27 pulau ini menyimpan berbagai keunikan dan khazanah kebudayaan yang tersebar di sekitar Kepulauan Karimunjawa.
            Kepulauan yang terletak di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ini memiliki kekayaan alam yang melimpah. Mulai dari pohon mangrove yang menjadi pusat studi mangrove dunia, hingga taman nasional yang menambah keindahan kepulauan yang berpenduduk 10.000 orang ini.
            Masyarakat di Kepulauan Karimunjawa mayoritas berkecimpung sebagai nelayan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir; muncul para pengrajin kayu yang sekarang mendulang hasil dari aktivitasnya. Kayu yang terkenal di kepulauan ini yaitu kayu Dewadaru, Kalimasada, dan Setigi. Ketiga kayu ini dijadikan bahan baku utama dalam produksi kerajinannya.
Harian Kompas (9/11) mewartakan, kerajinan kayu di Karimunjawa berkembang hampir bersamaan dengan pariwisata di kepulauan itu. Dari pernyataan Martoyo, salah seorang pengrajin kayu di Karimunjawa, sekitar tahun 1970 sejumlah warga Karimunjawa mengadakan musyawarah  untuk membahas pengembangan pariwisata di daerahnya. “Waktu itu kami sepakat kalau pariwisata berkembang, penduduk di sini jangan hanya jadi penonton”, kata Martoyo (dalam Firdaus, 2015).
Pernyataan Martoyo di atas mengindikasikan semangat kolektivitas dari masyarakat Karimunjawa untuk mengembangkan potensi daerahnya. Salah satunya dengan pengembangan kerajinan kayu yang dibangun sejak pertemuan itu. Sehingga, terciptalah transformasi kayu berupa cincin, pipa rokok, dan tongkat. Lama kelamaan, kerajinan itu terus berkembang dan menghasilkan produk yang lebih beragam.
Sebagai wujud kebudayaan, kayu (benda) dewadaru, kalimasada, dan stigi dipersepsi oleh masyarakat Karimunjawa memiliki tuah atau keramat; terutama kayu dewadaru. Hal ini tak terlepas dari cerita yang berkembang bahwa asal mula kayu itu berasal dari tongkat Sunan Muria yang dibawa oleh Amir Hasan dan ditancapkan di daerah bernama kremen-kremen (samar-samar), yang kini dikenal dengan Karimunjawa.
  Berdasarkan hal tersebut, kayu yang menjadi salah satu wujud kebudayaan telah dijadikan tradisi oleh masyarakat Karimunjawa secara turun-temurun. Hal ini juga menggambarkan adanya proses transmisi dari awalnya pohon dijadikan kayu sehingga bertransformasi ke dalam berbagai cendera mata untuk penunjang pariwisata di Kepulauan Jawa. Hal inilah yang dapat dijadikan contoh untuk seluruh daerah wisata di Indonesia.
Atas dasar tersebut, makalah ini akan memfokuskan kajian pada transformasi kayu yang dikembangkan oleh masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ditengah arus globalisasi saat ini. Transformasi tersebut tentu melibatkan sebuah tradisi dan transmisi yang juga menopang aktivitas hidup masyarakat Karimunjawa itu sendiri. Oleh karena itu, diharapkan makalah ini mampu memberikan inspirasi untuk semua kalangan agar lebih peka terhadap potensi alam Indonesia dan menjaga kearifan lokal yang terdapat di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
(1)   bagaimana tradisi kayu pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah?
(2)   bagaimana proses transmisi kayu yang terjadi pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah?
(3)   bagaimana transformasi yang dilakukan masyarakat Karimunjawa dalam memandang kayu sebagai sebuah tradisi lokal?



C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
(1)   untuk mengetahui bagaimana tradisi kayu pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah;
(2)   untuk mengetahui bagaimana proses transmisi kayu yang terjadi pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah;
(3) untuk menggambarkan bagaimana transformasi kayu sebagai basis industri kreatif pada masyarakat Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat dipetik dalam makalah ini adalah menanamkan pentingnya pelestarian kebudayaan lokal, khususnya berupa benda. Kesadaran itu penting untuk dibangun mengingat pentingnya pemertahanan kebudayaan lokal karena tersimpan mutiara kehidupan di dalamnya. Selain itu, kajian tentang transformasi kayu ini diharapkan mampu membangkitkan sikap dan perilaku kreatif pada masyarakat untuk tetap memegang teguh identitas bangsa yang tecermin dari kekayaan alam dan kekhasan etniknya. Selanjutnya, muara dalam makalah ini diharapkan mampu menunjukkan suatu pola kebudayaan yang dimulai dari suatu tradisi, kemudian proses transmisi hingga bertansformasi menjadi produk kebudayaan yang unggul dan berdaya saing tinggi.



BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
Menurut KBBI (2008), tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Taum (2011) mengatakan bahwa tradisi merupakan manifestasi dari pandangan kolektif masyarakat yang menjadi adat istiadat dan dilakukan secara turun-temurun. Maka, tradisi dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan masyarakat yang menjalankan sebuah  kebiasaan yang dipercayai dan telah diwariskan dari generasi ke generasi dan tetap dilaksanakan hingga saat ini.
Berdasarkan hal itu, dari perkembangannya suatu tradisi masyarakat akan mengalami suatu proses pewarisan atau transmisi. Transmisi adalah pengiriman (penerusan) pesan dari seseorang kepada orang (benda) lain (KBBI, 2008). Dalam teori moral socialization Hoffman (dalam Hakam, 2007), transmisi diartikan sebagai pemindahan  norma dan nilai-nilai dari masyarakat kepada generasi berikutnya agar memahami nilai dan norma yang terdapat dalam budaya masyarakat. Durachman, dkk (2006) mendefinsikan transmisi sebagai proses pewarisan dan penciptaan suatu tradisi yang ada sejak dahulu untuk kemudian diteruskan, baik itu secara lisan maupun tertulis. Proses pewarisan itu sendiri berjalan secara vertikal dan horizontal dengan proses penciptaannya yang terstruktur ataupun secara spontan (Hutomo, 1991: 74).
Transmisi yang terjadi akan menimbulkan suatu perbedaan dari generasi yang diwariskan. Perbedaan itu bisa berupa perbedaan cerita (dalam sastra lisan) ataupun isi dari tulisan (dalam naskah), maupun perwujudan dari tradisi yang diwariskan (ide, benda, dan aktivitas). Sehingga, proses transformasi itu akan berkaitan erat dengan konteks zaman berlangsungnya tradisi dan transmisi dari suatu wujud kebudayaan.
Menurut Kuntowijoyo (2006: 56), transformasi adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Transformasi merupakan usaha yang dilakukan untuk melestarikan budaya lokal agar budaya lokal tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Sementara itu, Yunus (2013: 70) mengatakan bahwa transformasi merupakan perpindahan atau pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung di dalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan. Kerangka transformasi budaya adalah struktur dan kultur. Dengan adanya transformasi, masyarakat dapat mengetahui nilai-nilai yang menjadi acuan dalam hidup agar mereka dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam budaya lokalnya (Yunus, 2013: 70).





BAB III
PEMBAHASAN
Data Badan Statistik Jepara menunjukkan, jumlah penduduk di Kecamatan Jepara diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan. Jumlah penduduk yang tercatat pada tahun 2015 yakni 88,245 jiwa. Angka ini diproyeksi meningkat pesat pada tahun 2020 mendatang, yakni sekitar 96,964 jiwa (Jepara.bps.go.id). Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri ketika sektor pariwisata di Kepulauan Karimunjawa akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Qomarudin (2013) mengatakan bahwa secara sosiologis masyarakat Kepulauan Karimunjawa heterogen, terbentuk oleh kebutuhan akan pengembangan kehidupan dan hajat hidup sosial ekonomi. Kegiatan wisata akan menyebabkan berkembangnya pergaulan, interaksi dan proses-proses sosial masyarakat Jawa, Bugis dan Madura, yang membawa nilai-nilai sosial-budaya kelompok masyarakat.
Pengembangan kawasan yang dilakukan pemerintah sedikit banyak mengubah aktivitas masyarakat di sekitarnya. Kondisi yang ada di Karimunjawa sangat berperan pada perilaku sosial yang ada dalam masyarakat. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan wisata, masyarakat Karimunjawa sebagian besar adalah nelayan yang mengandalkan mata pencahariannya, yakni mencari ikan. Namun, seiring perkembangannya, sebagian masyarakat sudah beralih mata pencaharian ke dalam bidang jasa yang menunjang adanya kawasan wisata seperti membuat penginapan, menyediakan sewa kapal dan alat menyelam, warung makan dan cinderamata khas Karimunjawa yang dibuat dari kayu Setigi, Dewadaru dan Kalimasada, sebagian juga ada yang masih berhubungan dengan perikanan seperti ikan asin yang dijual sebagai oleh-oleh serta ikan bakar yang dijual ketika malam hari (Nurhidayati, dkk, 2009: 5-6).
Pendapatan Karimunjawa untuk negara berasal dari tiket masuk, wisata selam, homestay dan sumber lain yang termasuk ke dalam PNBP mencapai Rp. 21.510.000 pada tahun 2009, pendapatan ini naik dari Rp. 12.422.500 pada tahun 2008 (Susetiono dalam Qomarudin, 2013).
Salah satu sektor yang bersumbangsih dalam pendapatan itu adalah sektor cinderamata khas Karimunjawa, yakni produksi kayu yang kini bertransformasi ke dalam berbagai jenis bentuk seperti gelang, kalung, cincin. Ada tiga jenis kayu utama yang dipersepsi menyimpan nilai-nilai budaya luhur pada masyarakat Karimunjawa. Ketiga kayu itu adalah  Dewadaru (Fragraea Elliptica) yang terdapat pada hutan hujan dataran rendah, Setigi (Pemphis Acidula), serta Kalimasada (Cordia Subcordata) yang terdapat di hutan pantai. Berikut ini merupakan visualisasi dari ketiga kayu tersebut.


 

                            kayu Dewadaru   kayu Kalimasada  kayu Stigi

Abdillah (2014) mengatakan bahwa sejak zaman kerajaan jenis kayu bertuah sudah banyak dimanfaatkan untuk warangka, gagang tosan aji, maupun piranti mistik. Pengobatan herbal, medis maupun non-medis dari warisan sumber sesepuh atau orang tua dulu juga banyak memanfaatkan bagian-bagian pohon kayu bertuah, dari daun, batang, akar, blendhok, pelet, galih, bahkan hama ulat pada pohon tersebut.
Sejalan dengan hal itu, terdapat beberapa fungsi spesifik dari tradisi kayu yang ada pada masyarakat Karimunjawa dalam mempersepsi material/benda “kayu” sebagai wujud kebudayaan. Abdillah (2014) memaparkan fungsi dan khasiat dari ketiga kayu yang menjadi tradisi pada masyarakat di Karimunjawa dari hasil wawancara dengan masyarakat di sana. Pemaparannya akan disajikan di bawah ini.
1) Kayu Dewadaru
Kayu ini dipercaya penduduk setempat berfungsi untuk mengusir atau membersihkan tempat-tempat yang diyakini ditempati jin-jin jahat. Selain itu, kayu ini bisa menyembuhkan segala macam penyakit dengan cara dimasukkan ke dalam air putih dan diminum dengan mengucapkan basmalah dan selawat dan dapat dijadikan senjata untuk mengalahkan musuh (dalam arti positif).
 Kayu Dewadaru merupakan kayu yang paling dituakan atau dikeramatkan. Hal ini berkaitan dengan sejarahnya yang berkaitan dengan tongkat Sunan Muria yang menjadi cikal bakal kayu tersebut.
2) Kayu Kalimasada
Kayu ini jika dibawa kemana-mana dipersepsi dapat membawa kewibawaan dan disegani orang lain. Selain itu, kayu ini juga dapat mendatangkan kesenangan dari orang lain. Kayu kalimasada mempunyai warna yang cenderung hitam, kayunya ringan dengan serat atau belang mirip sono keling.  Dari akar katanya, kayu Kalimasada bermakna kalimah sahadat sehingga kayu ini sering dijadikan tasbih.
3) Kayu Setigi
Kayu ini dipersepsi dapat mengobati gigitan atau sengatan hewan-hewan berbisa. Dalam dunia alternatif herbal, kayu setigi darat maupun setigi laut sangat dikenal dan banyak digandrungi sejak zaman dulu. Karakter serat kayunya yang keras dan anti hama serta semakin lama dipakai akan semakin indah dan tua dengan kilap dari gesekan jari jemari.
      Pandangan terhadap ketiga kayu di atas sangat berkaitan erat dengan cara berpikir masyarakat Karimunjawa dalam menyikapi wujud kebudayaan benda dan gagasan yang terwujud dari kayu (material) dan cerita tuah akan benda tersebut (gagasan). Hasil dari kedua hal itu diwujudkan melalui aktivitas pengrajin kayu, yang juga merupakan salah satu wujud kebudayaan. Artinya, kayu sebagai tradisi masyarakat Karimunjawa tidak hanya berwujud benda, tetapi juga melibatkan ide (gagasan) dan aktivitas. Hal ini juga tak lepas dari perkembangan budaya dan sosial masyarakat di Kepulauan Karimunjawa itu sendiri. Jika divisualisasikan, arah tradisi kayu pada masyarakat Karimunjawa tergambar seperti berikut.



Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa kayu sebagai wujud kebudayaan benda tak terlepas dari wujud kebudayaan lainnya (ide dan aktivitas). Hadirnya sebuah benda/material dalam kehidupan masyarakat Karimunjawa tak lepas dari dasar adanya suatu gagasan di balik benda tersebut. Hal ini terlihat dari kepercayaan masyarakat Karimunjawa yang memandang kayu sebagai bagian yang penting dalam hidupnya. Dari akar sejarahnya, kayu merupakan turunan dari tongkat seorang penyebar agama Islam (Sunan Muria) dan hingga kini kepercayaan tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat Karimunjawa.
Dari gagasan itu, terdapat pengembangan dari tradisi yang telah berlangsung di masyarakat Karimunjawa berupa proses transmisi dari suatu ke generasi ke generasi selanjutnya. Proses transmisi tersebut terlihat dari pelatihan para pengrajin kayu yang terjadi secara vertikal (dari orang tua ke anak) dan horizontal (sesama anggota masyarakat). Adapun dari wujud kepercayaan (gagasan) berlangsung secara lisan, dari mulut ke mulut.
Setelah suatu tradisi bertansmisi, maka tradisi itu lama-kelamaan akan mengalami sebuah transformasi, baik itu sebagian maupun menyeluruh. Palupi (2007: 6) mengatakan bahwa suatu tradisi dari generasi ke generasi selalu terjadi perubahan-perubahan, sehingga tradisi tidak mungkin dapat dilestarikan sepenuhnya. Kedua proses itu menyebabkan adanya perubahan interpretasi dari masyarakat terhadap tradisi yang akhirnya hubungan yang dihasilkan dari suatu rantai generasi, sehingga kualitasnya akan tetap sama.
Sebagai salah satu kearifan lokal, tradisi kayu di Kepulauan Karimunjawa amat penting untuk dijaga kelestariannya. Hal ini sangat berguna tidak hanya pada aspek pariwisata, tetapi juga aspek pembangunan manusia yang peka akan kebudayaannya sendiri. Sejak abad ke-19, daerah Jepara telah dikenal luas sebagai daerah yang memproduksi mebel dan ukiran yang terkemuka di Indonesia, terbukti dengan adanya apresiasi dari beberapa kalangan yang menyatakan Jepara sebagai kawasan terpadu untuk mebel dan ukiran. Di Jepara, kegiatan pembuatan mebel dan ukiran telah menjadi bagian dari budaya, seni, ekonomi, sosial dan politik yang sudah mendarah daging, sehingga sukar dipisahkan dari sejarah awalnya (Nangoy dan Sofiana, 2013).
Seperti yang diketahui, potensi alam dan kekayaan tradisi yang dimiliki berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar Karimunjawa, tak terkecuali masyarakat Jepara (Farida, 2013). Namun, ada kekhawatiran tatkala tradisi yang telah berlangsung dimasuki unsur politis dan sikap eksploitatif yang justru tidak menguntungkan. Tak pelak, perubahan sosial dan peran masyarakat semakin mengubah pola hidup kebersamaan menjadi matrealisme dan individualistik (Qomarudin, 2013).
Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran sikap yang membangun pelestarian tumbuhan-tumbuhan guna meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Dengan demikian, transmformasi kayu yang dihasilkan oleh masyarakat Karimunjawa seperti kalung, gelang, tasbih, tongkat, dan sebagainya akan tetap berjalan harmonis asalkan masyarakat masih memelihara alam, kebudayaan, dan kearifan lokalnya.



BAB IV
SIMPULAN
A. Simpulan
Tradisi kayu masyarakat Karimunjawa tak terlepas dari akar sejarah hadirnya “kayu bertuah” sebagai wujud kebudayaan yang berasal dari gagasan, yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Karimunjawa. Sebagai tradisi, kayu telah melekat dengan kehidupan masyarakat Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah.
Adapun proses transmisi dari kayu tersebut berlangsung secara lisan, dari mulut ke mulut (dalam hal gagasan). Selain itu, transmisi itu berlangsung melalui pelatihan yang didapatkan secara vertikal dan horizontal dari aktivitas  para pengrajin kayu pada masyarakat Karimunjawa.
Tradisi dan transmisi tersebut nyatanya telah bertansformasi ke berbagai aneka kerajinaan seperti gelang, gantungan kunci, pipa rokok, tongkat. Semua cindera mata tersebut sangat potensial untuk terus mengalami perkembangan. Sehingga, potensi wisata beserta keanekaragam budaya di Kepulauan Karimunjawa dapat menunjang kesejahteraan masyarakat dan memperkuat perekonomian lokal dan nasional.



DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, M.S. (2014). Fungsi dan khasiat kayu setigi dan dewadaru. [daring].
Badan Pusat Statistik Daerah. (2015). Statistik Penduduk Jepara. [daring].
Tersedia: http://jeparakab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/12. Diakses pada 11 November 2015.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia
edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Durachman, M., dkk. (2006). Cerita si Kabayan: Transformasi, Proses
Penciptaan,  Makna, dan Fungsi. Bandung : UPI.
Farida, N. (2013). “Pengaruh kualitas layanan, fasilitas wisata, promosi terhadap
citra destinasi dan niat berperilaku pada obyek wisata karimunjawa kabupaten jepara”. Jurnal Graduasi, 31 (1), hlm. 80-90
Firdaus, H. (2015). “Tuah kayu dari Karimunjawa”. Kompas, 9 November, hlm.
26.
Hakam, A.K. (2007). Bunga rampai pendidikan nilai. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan: pengantar studi sastra
lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Nangoy, O.M. dan Sofiana, Y. (2013). “Sejarah mebel ukir jepara”. Jurnal
Humaniora, 14 (1), hlm. 257-264.
Nurhidayati, dkk. (2009). “Etnhobotanical and plant profile studies at
karimunjawa village of jepara regency, central java” The Journal for Technology and science, 20 (1), hlm. 1-10.
Palupi, N. (2007). Arsitektur dalam kehidupan sehari-hari: Modernitas vs
tradisi”.  Jurnal Arsitektur, 1 (2), hlm.5-9.
Qomarudin. (2013). “Perubahan sosial dan peran masyarakat dalam
pengembangan kawasan wisata kepulauan karimunjawa”. Journal of Educational Social Studies, 2 (1), hlm. 41-46.
Taum, Y. Y. (2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan  pendekatan
disertai contoh penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Yunus, R. (2013). “Transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya
pembangunan karakter bangsa (Penelitian studi kasus budaya huyula di kota gorontala)”. Jurnal Penelitian Pendidikan, 14 (1), hlm. 65-77.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watermark

Naskah dan Teks

Pengantar teori filologi