Diary sang Zombigaret
“Si Garet
Membuat Paru-paruku Terbakar”
oleh Iwan Ridwan
oleh Iwan Ridwan
Siang itu ragaku seakan melayang,
diriku seperti kehilangan fungsi sebagian raga yang terasa mulai lenyap
disetiap jengkalnya. Mata mulai sayup, suara tangis terdengar ke dalam pusat
hatiku, terdengar suara rintihan seseorang di sebelah badanku. Terasa sulit paru-paru ini untuk menghirup
meski sebotol udara telah menempel pada mulutku. Beberapa jam tak sadarkan
diri, terasa ada yang mengajakku dalam suatu ruangan gelap dan di ujungnya ada
suatu cahaya putih. Lalu aku beranikan diri menjemput setitik cahaya itu.
Aku terbawa ke dalam sebuah lorong
lubang jarum dan akhirnya sampai disebuah tempat yang sangat mengerikan. Air
berwarna merah, rangka-rangka tulang manusia berceceran dimana-mana. Mencoba
berjalan disetiap pijakan tanah basah berbau anyir, ditengah perjalanan bertemu
seseorang lelaki berbaju putih seperti seorang Tabib yang sedang berzikir. Aku
pun bertanya, “Anda ini siapa, tempat apa sebenarnya ini?”, lalu lelaki itu
berkata “Aku adalah pembersih kesiasiaan manusia ketika hidup nyaman di dunia.
Aku pun kaget mendengar perkataan
lelaki itu, kemudian aku berkata, “Lantas siapakah mayat-mayat hidup yang
bergeletakan ini?”. Lelaki itu menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang semasa
hidupnya dihabiskan menghirup sebuah benda kecil menggiurkan”.
Aku pun penasaran, apa sebenarnya
benda kecil itu, dalam pikirku apakah sebatang rokok tembakau yang sangat
sering kuhisap. Aku terus menerawang pada pikiran-pikiran yang membuat tubuhku
kaku. Secara tiba-tiba lelaki itu berbisik padaku, “Kelak dirimu akan seperti
ini ...”, kemudian lelaki itu pergi entah kemana. Sedang aku tetap berdiri kaku
menyaksikan mayat-mayat hidup berlalu-lalang.
Lalu seorang zombi datang
menghampiriku. Zombi itu pun berkata, “Hei kenapa kau berdiri di sana,
kemarilah bergabung bersama kami (dengan suara yang sangat serak). Suara zombi
itu membuat bulu kudukku berdiri, Aku bergegas pergi dari tempat yang amat
mengerikan ini, sambil berlari mencari titik cahaya yang tadi membawaku,
ditengah perjalanan ku saksikan orang-orang berlomba-lomba meminum air kesucian
yang dijaga oleh beberapa lelaki berbaju putih sambil berteriak “Air Kanker,
Air Kanker ... “ berulang-ulang, perkataan tersebut membuat hatiku semakin
bergetar ketakutan, tempat ini seperti gambaran kehidupan seseorang Garet
sejati kelaknya.
Setelah mencari dengan waktu yang
sangat lama, akhirnya titik cahaya itu
mulai terlihat, bergegas kaki ini melangkah panjang untuk masuk lubang yang
kecil itu. Setelah berhasil masuk, Aku tiba lagi di ruangan gelap awal
pemberhentianku. Aku mencoba mencari sebuah kepastian dengan tempat gelap ini
dengan menutup mata berharap semuanya akan berakhir. Tak lama kemudian, tangan
ini secara lemas dapat digerakkan, nampaknya Tuhan telah mengembalikan sebagian
fungsi organ-organ tubuh ini.
Lalu, aku mulai terbawa ke alam
sadar kehidupan nyata di dunia, sepasang mataku secara perlahan terbuka,
kulihat tubuhku memakai baju biru layaknya seorang pasien dengan tangan bekas
suntikan dan ada sebuah selang panjang menempel di tanganku yang
menghubungkannya dengan sebuah botol segi empat berisi cairan-cairan nutrisi. Tersadar
bahwa bau khas ruangan ini adalah sebuah ruang perawatan Rumah Sakit.
Lalu aku menengok ke sebelah kanan,
ternyata ada seseorang anak yang tengah tertidur yang sepertinya kelelahan
menjaga lelaki muda namun berparu-paru tua. Anakku dengan setia menemani setiap
menit ketakberdayaanku ini, dalam tangisku Aku menyesal telah menyia-nyiakan
kehidupan ini dengan menghisap sebuah rokok tembakau dibandingkan memberi
perhatian kepada anakku yang manis ini.
Penyesalan memang selalu datang di
akhir sebuah peristiwa, dokter mendiagnosa bahwa diriku mengidap kanker
paru-paru stadium IV kronis. Air mataku terus menetes tak terhenti, tersadar
oleh sebuah kebiasaan buruk menghisap lima bungkus rokok tiap satu jam sekali,
yang dulu ku lakukan selama 10 tahun berturut-turut sejak anakku masih kecil.
Kini, hidupku terasa terombang-ambing, sisi lain kehidupanku menginginkan waktu
dapat mundur beberapa puluh tahun ke belakang agar Aku bisa memperbaiki diri
dengan penuh rasa syukur atas ciptaan Sang Pencipta. Setiap detik terasa tinggal
sebuah penantian, menantikan Malaikat pencabut nyawa datang kepadaku dan
berkata “Waktumu telah habis”.
Komentar
Posting Komentar